Hal ini sangatlah kontradiktif dengan janji serta target pemerintah Indonesia dalam COP 21 hingga 23 dalam Perjanjian Paris dalam menjaga agar suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celsius.
Performance Report of DG Mineral and Coal (2015-2016) MEMR & APBI (2016) bahkan menyatakan bahwa Indonesia masih menjadi 5 produsen batu bara terbesar dengan 440 juta ton tiap tahun yang hingga 85%-nya di ekspor ke Cina dan India, sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik.
Jika persediaan batu bara di Indonesia sebanyak 13,3 miliar ton digunakan secara konstan sebanyak 461 juta tiap tahunya, maka persedian batu bara akan benar-benar habis hanya dalam jangka waktu 29 tahun kedepan.
Tidak hanya itu saja, pemanfaatan batu bara yang menimbulkan kerusakan akibat penambangan, pembakaran, dan pembuangan limbahnya harus ditanggung bersama.Â
Penambanganya mengakibatkan luasnya penggudulan hutan, erosi tanah, kehilang sumber air, polusi udara, belum lagi jutaan limbah ton beracun yang dihasilkan dapat mencemari lingkungan sekitar penambangan. Belum lagi secara sosiologi, masyarakat adat tahap demi tahap harus rela tergusur sepanjang puluhan hingga ratusan tahun.Â
Pembakaran batu bara juga meninggalkan jejak kerusakan yang tak kalah dahsyat. Air yang digunakan dalam pengoperasian PLTU mengakibatkan kelangkaan air di sekitar.
Partikel-partikel halus debu batubara merupakan salah satu penyebab dari penyakit pernapasan akut, merkurinya dapat menganggu pekermbangan saraf anak-anak balitan dan janin dalam kandungan ibu hamil.
Terakhir, pembakaran batu bara juga salah satu penyebab utama munculnya gas rumah kaca.
Begitupula dengan limbah pembakaranya yang sebagianya aadalah zat beracun seperti tembaha, cadmium, dan arsenic yang masing-masing memicu keracunan, gagal ginjal, dan kanker.
Setelah proyek penambangan batu bara habis, proyek pekerjaan berhenti dan meninggalkan jejak kerusakan. Hamparan alam yang telah dirusak tidak akan pernah bisa bisa kembali seperti sedia kala. Lubang-lubang raksasa, drainase tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian masalah yang bisa dilihat secara fisik.Â
Sudah saatnya kita unjuk diri menghentikan rantai ketergantungan dari energi kotor ini. Upaya pemerintah menekan subsidi per tahun ini serta menaikan tarif dasar listrik non-subsidi merupakan langkah yang secara tidak langsung membantu untuk mengurangi permintaan (daya beli) masyarakat.