Mohon tunggu...
Ilham Gresnaidi
Ilham Gresnaidi Mohon Tunggu... Lainnya - Halo!

Mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tak Perlu Menunggu Cadangan Batu Bara Habis

13 Agustus 2018   02:20 Diperbarui: 13 Agustus 2018   02:41 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.austmine.com.au

Setiap 1000 terawatt listrik yang dihasilkan dari batu bara membunuh 280 ribu orang, menjadikan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik paling berbahaya di muka bumi. Masih perlukah kita menggunakan batu bara?

Batu bara, salah satu pembentuk bahan bakar fosil merupakan batuan sedimen yang terbentuk secara organik. Pembentuknya beragam, mulai dari Alga, Silofita, Pteridofita hingga Angiospermae.

Di Indonesia, pertambangan batu bara dapat di temui di berbagai wilayah dengan endapan cekung seperti di pulau Sumatera dan Kalimantan.

Selain di Indonesia, produsen batu bara juga dihasilkan di negara lain seperti Cina yang mengambil prosentase hingga 46% yang artinya saat ini Cina menjadi produsen batu bara terbesar di muka bumi, selanjutnya dimiliki Amerika Serikat sebanyak 10%, sisanya Indonesia, Australia, India, serta Rusia. 

Batu bara, sebagai bahan yang paling mendominasi produksi listrik selain minyak dan gas, bahan bakar fosil ini juga sangat berbahaya.

Tercatat sebanyak 350 ribu orang kehilangan nyawanya akibat dampak negatif yang mereka dapat lewat polusi udara yang diproduksi oleh pembangkit  listrik berbahan batu bara.

Bahkan jika rencana pembangunan 1200 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sedunia direalisasikan artinya kita harus berani menanggung efek sampingnya, yakni suhu bumi yang akan naik drastis menjadi 5 derajat celsius.

Nampaknya, tindakan ini berbalik 180 derajat dari apa yang dijanjikan pemerintahan untuk tetap mengusahakan suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celsius.

Sebagai tambahan, sisa cadangan batu bara yang dapat bertahan hingga tahun 2152 atau 134 tahun kedepan juga akan menghasilkan hampir 2000 gigaton emisi Co2 jika penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik tersebut tetap dilanjutkan atau setara dengan tenggelamnya Amsterdam, New York, hingga Bangkok, tidak ada lagi koral di lautan, kenaikan permukaan air laut meningkat hingga 1.43 meter, hilangnya lebih dari 40 persen spesies yang beresiko punah, hingga meningkatnya intensitas hujan hingga lebih dari 30-42 persen.

INDONESIA DALAM BAHAYA

sumber: www.ft.com
sumber: www.ft.com
Pemerintah memberikan kebijakan baru, dalam Surat Menteri ESDM Ignasius Jonan bernomor 2841/30/MEM.B/2018 tanggal 18 Februari 2018 produsen batu bara dipaksa untuk menjual hasil produksinya dalam negeri.

Dalam surat tersebut Kementerian Energi dan Sumber Daya memberikan kebijakan Domestic Market Obligation, di mana mewajibkan produsen batu bara untuk memberikan minimal 25% dari total produksi untuk di jual di dalam negeri.

Jika produsen tidak mampu mencapai target tersebut, perusahaan tersebut akan dikenai sanksi, jenis sanksi itu berupa pengurangan rencana produksi 2018 yang telah disetujui dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) di masing-masing perusahaan. 

Tidak tanpa alasan kebijakan ini dibuat. Harga batu bara yang melonjak tinggi mencapai mencapai US$ 104,65 per ton per Juli 2018 dari sebelumnya hanya US$ 96,61 atau naik US$ 8 per Juni 2018.

Salah satu penyebabnya adalah tingginya permintaan baru bara di China dan Eropa mengingat negara tersebut sedang dalam musim dingin, serta sulitnya akses pengiriman dan logistik mengingat cuaca yang buruk.  

Naiknya Harga Acuan Batu Bara di asumsikan akan memberikan dampak buruk bagi Perusahaan Listrik Negara. Subsidi listrik sebanyak Rp47,6 triliun di tahun 2018 (lebih rendah daripada tahun sebelumnya, 2017) dianggap belum cukup melihat urgensi PLN saat ini juga termasuk didalamnya adalah pengembangan listrik di daerah. Akibatnya tarif dasar listrik harus naik.

"(Kalau tidak ada bantuan) Ya susah, bisa bangkrut PLN. PLN nggak punya uang, karena dana PLN untuk pengembangan listrik di daerah. Masih banyak desa yang belum terislitriki, itu kan pakai dana PLN, kalau PLN dibiarkan rugi bagaimana PLN bisa melistriki desa itu," kata Made, Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka.

Dalam perintahnya, Joko Widodo meminta agar tarif dasar listrik tidak naik hingga 2019, permintaan tersebut memang dikabulkan, PLN menegaskan tidak ada kenaikan tarif listrik pada April 2018. Hal ini sudah menjadi keputusan bersama perusahaan dengan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri meski dilain sisi PLN tidak cukup mampu menalangi biaya operasional, dan lain sebagainya jika pemerintah tetap memberikan nilai subsidi yang sama.

Untuk menyiasati hal tersebut, I Made, lanjutnya menyatakan bahwa saat ini PT PLN juga sedang melakukan efisiensi dengan berbagai cara.

Seperti melakukan negoisasi ulang, membangun PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) di mulut tambang, melakukan zonasi pengadaan batu bara sehingga dapat menghemat biaya transportasi, dan terakhir mencari sumber daya yang lebih murah.

HENTIKAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR FOSIL

pwyp-indonesia.org
pwyp-indonesia.org
Merujuk pernyataan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa batu bara masih menjadi bahan pembangkit listrik paling ideal, bahkan batu bara saat ini masih menjadi 57% bahan primern ya

 Hal ini sangatlah kontradiktif dengan janji serta target pemerintah Indonesia dalam COP 21 hingga 23 dalam Perjanjian Paris dalam menjaga agar suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celsius.

Performance Report of DG Mineral and Coal (2015-2016) MEMR & APBI (2016) bahkan menyatakan bahwa Indonesia masih menjadi 5 produsen batu bara terbesar dengan 440 juta ton tiap tahun yang hingga 85%-nya di ekspor ke Cina dan India, sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik.

Jika persediaan batu bara di Indonesia sebanyak 13,3 miliar ton digunakan secara konstan sebanyak 461 juta tiap tahunya, maka persedian batu bara akan benar-benar habis hanya dalam jangka waktu 29 tahun kedepan.

Tidak hanya itu saja, pemanfaatan batu bara yang menimbulkan kerusakan akibat penambangan, pembakaran, dan pembuangan limbahnya harus ditanggung bersama. 

Penambanganya mengakibatkan luasnya penggudulan hutan, erosi tanah, kehilang sumber air, polusi udara, belum lagi jutaan limbah ton beracun yang dihasilkan dapat mencemari lingkungan sekitar penambangan. Belum lagi secara sosiologi, masyarakat adat tahap demi tahap harus rela tergusur sepanjang puluhan hingga ratusan tahun. 

Pembakaran batu bara juga meninggalkan jejak kerusakan yang tak kalah dahsyat. Air yang digunakan dalam pengoperasian PLTU mengakibatkan kelangkaan air di sekitar.

Partikel-partikel halus debu batubara merupakan salah satu penyebab dari penyakit pernapasan akut, merkurinya dapat menganggu pekermbangan saraf anak-anak balitan dan janin dalam kandungan ibu hamil.

Terakhir, pembakaran batu bara juga salah satu penyebab utama munculnya gas rumah kaca.

Begitupula dengan limbah pembakaranya yang sebagianya aadalah zat beracun seperti tembaha, cadmium, dan arsenic yang masing-masing memicu keracunan, gagal ginjal, dan kanker.

Setelah proyek penambangan batu bara habis, proyek pekerjaan berhenti dan meninggalkan jejak kerusakan. Hamparan alam yang telah dirusak tidak akan pernah bisa bisa kembali seperti sedia kala. Lubang-lubang raksasa, drainase tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian masalah yang bisa dilihat secara fisik. 

Sudah saatnya kita unjuk diri menghentikan rantai ketergantungan dari energi kotor ini. Upaya pemerintah menekan subsidi per tahun ini serta menaikan tarif dasar listrik non-subsidi merupakan langkah yang secara tidak langsung membantu untuk mengurangi permintaan (daya beli) masyarakat.

Selain itu kenaikan tarif dasar listrik juga akan membuat harga listrik dengan energi terbarukan (seperti tenaga angin, surya dan lain sebagainya) lebih kompetitif, artinya masyarakat dapat memilih alternatif lebih banyak dengan range tarif yang hampir sama. 

sumber: greenpeace.com
sumber: greenpeace.com
Meski untuk saat ini tarif dasar listrik energi terbarukan masih dua kali lipat lebih mahal dibanding tarif dasar listrik paling tinggi berbabahan bakar fosil.

Contohnya di Maluku tarif dasar pembangkit listrik tenaga surya berkisar maksimal Rp2900/KwH atau sama dengan dua kali lipat tarif rumah tangga golongan 3 dengan 66000 VA non subsidi sebesar Rp1467,28/KwH.

Tapi seiring berjalanya waktu, kelangkaan batu bara serta bahan baku fosil lainya akan menyebabkan melambungnya tarif dasar listrik berbahan fosil sehingga alternatif satu-satunya adalah memakai pembangkit daya berbahan dasar energi terbarukan.

Namun tidak perlu menunggu batu bara benar-benar habis untuk bisa beralih, saat ini kita juga bisa mendapatkan akses untuk mendapatkan sumber daya listrik lewat energi terbarukan seperti sel surya berkapasitas rumah tangga bahkan hanya dengan modal Rp2.000.000.

Mari sama-sama menjaga bumi kita, bukan karena rasa takut akibat efek negatif yang timbul, tapi sebagai warga bumi yang menyayangi buminya. Salam Hentikan Bahan Bakar Fosil!

***

Sumber: kontan.co.id, liputan6.com, greenpeace.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun