Sampai di hari Amar khitan. Tentu saja tak ada dekorasi rumah. Tak ada undangan. Tak ada apa-apa. Aku antar dia ke ahli khitan dan semua berjalan dengan aman.
Aku peluk dia erat-erat dan sekali lagi meminta maaf. "Maafkan bapak..." Kataku.
Lalu, Amar mengangguk seperti istriku. Dia memelukku erat dan berbisik. "Terima kasih pak..." Katanya.
Kami pulang dan memang tak ada apa-apa. Karena sudah sejak jauh hari kami bilang tak ada hajatan.
Tapi satu per satau orang datang. Tetangga datang mengucapkan selamat ke Amar. Mereka mendatangi Amar dan memberikan uang.
Aku pun harus menggelar tikar di ruang tamu rumah yang tak seberapa. "San... Aku air putih saja, tak usah teh manis," kata Sarno.
"Ada minuman?" Kataku pada istri.
"Ada air mineral tak seberapa jumlahnya," jawab istriku.
"Ada makanan ringan?" Kataku mulai panik.
"Ada tapi tak seberapa," jawab istriku.
Aku benar-benar kelimpungan. Sebab, satu per satu warga mulai datang. Padahal sebelumnya aku sudah bilang tak ada hajatan, tapi di hari H orang-orang tetap datang memberikan selamat.