Di desaku ada lelaki tua bernama Raja. Hanya itu namanya. Dulu kisaran 20 tahun lalu dia mengakhiri tugasnya sebagai kepala desa.
Kata orang-orang, Raja sangat berwibawa sebagai kepala desa. Kata orang-orang, Raja memberi prestasi pada desa. Juara ini, juara itu, juara anu.
Kata orang-orang, Raja tak lagi jadi kepala desa karena sudah tak bisa mencalonkan lagi. Sebab masa jabatannya sudah maksimal.
Semenjak tak lagi sebagai kepala desa, Raja didapuk jadi sesepuh desa. Dia yang dituakan, sekalipun usianya belum bisa dikatakan sangat tua.
Raja selalu diundang di acara penting. Dia selalu dimintai pendapat. Jika Raja sudah bicara, maka tak ada lagi yang membantah. Ibaratnya, kata-kata Raja adalah titah.
Dan memang wibawa Raja tak ada duanya. Maka semua oke oke saja dengan segala pernyataan Raja. Raja selalu bilang bahwa desa di atas segalanya.
"Jangan sampai desa kalah nama dari kadesnya. Jangan sampai nama kades lebih hebat dari nama desa. Kades harus paham itu," kata Raja satu ketika.
Raja selalu jadi raja. Raja bahkan lebih dikenal dari nama desa. Ya, sebab dia selalu dapat panggung selama 20 tahun. Sebab kata-katanya tak ada yang berani membantah.
Sampai kemudian, zaman memang berubah. Anak-anak muda di desa sudah mulai gerah. Sebab, Raja benar-benar dominan. Dia tak memiliki jabatan, tapi tetap saja menentukan.
Bahkan, orang cenderung enggan berpendapat ketika ada Raja di forum.
Anak-anak muda ini mulai melucuti kekuatan Raja. Pertama, Raja tak lagi dapat undangan di acara-acara penting. Mulanya anak-anak muda itu sembunyi-sembunyi dan cari alasan mengapa tak mengundang Raja.
Tapi belakangan, ketika orang mulai terbiasa tanpa Raja, anak-anak muda itu terang-terangan bahwa Raja tak perlu lagi datang ke acara di desa.
"Beri kesempatan yang muda untuk berkreasi, pak," kata Soni pada Raja.
Raja mencoba memperlihatkan wibawanya. Dia duduk dengan di atasnya foto kala dia masih muda dan jadi kepala desa.
Raja bicara panjang lebar tentang prestasinya. Seolah ingin mengatakan bahwa dia adalah legenda.
"Mana bukti fotonya pak Raja, bahwa bapak berprestasi?" Tanya Manan, anak muda lainnya.
Yang ditanya gelagapan. Sebab zaman itu masih jarang foto. Apalagi desaku sangat tertinggal. Listrik masuk desa di tahun 2000.
"Kalau tak ada foto sebagai bukti, maka sejarah selama ini yang bapak banggakan bisa kami katakan, sejarah palsu," kata Manan.
Raja hanya bisa geregetan. Dia tak berani marah karena takut wibawanya tumpah. Ketika anak-anak muda itu pergi, Raja mengumpat dengan sangat. Dia merasa dilecehkan.
Malam harinya Raja menelepon orang-orangnya. Dia ingin agar para anak muda itu disingkirkan saja. Raja ingin agar desa tetap genuine seperti di masanya.
Raja menelepon para orang dekatnya. Bukan hanya satu, tapi sampai 11 orang dekat yang ditelepon Raja.
Tapi jawaban orang dekat itu sama. "Bapak istirahat saja. Ini sudah bukan masanya bapak," kata Sarmin, salah satu orang dekat Raja.
Saat itu, Raja mulai linglung. Karena satu per satu orang Desa menjauhinya. Satu per satu tak lagi mau mendengarkan ucapannya.
Raja sepertinya tak siap dengan perubahan itu. Waktu semakin berlalu dan tubuhnya makin layu. Dunia berputar begitu lambat dengan serasa jarum yang menusuk kulit tipisnya dengan tanpa aba-aba. Sakit sekali rasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H