Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Menangis Tiap Petang

1 Juni 2023   19:52 Diperbarui: 1 Juni 2023   20:15 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingin cerita padamu. Cerita kisaran 30-an tahun lalu kala aku kali pertama menjadi guru sekolah. Aku kala itu mendapatkan kesempatan mengajar di sebuah desa. Desa Mbiru namanya. Baru beberapa hari aku di sana, aku mendapatkan fakta, seorang lelaki yang selalu menangis kala petang.

Begini ceritanya...

Aku mendapatkan tugas negara, menjadi guru SD di daerah yang cukup pelosok. Mbiru namanya. Di masa itu, listrik memang sudah ada, tapi tak semodern sekarang. Di masa itu, belum ada telepon genggam. Masa di mana semua masih sangat manual.

Di tempat itu, nyaris tak ada yang punya mobil. Seingatku, mungkin hanya satu orang yang punya mobil, dia adalah Pak Karta. Pak Karta adalah juragan tembakau. Dia pengepul tembakau dari para petani.

Aku mengajar di SD Mbiru. Muridku kebanyakan masih tak bersepatu. Sebagian besar mereka berangkat lebih sering telat. Ya begitulah.

Tapi aku tak akan cerita apa-apa kecuali seorang lelaki yang selalu menangis kala petang. Mulanya, di tempat rumah kontrakanku yang berdinding anyaman bambu itu, aku dengar tangisan lelaki. Dia menangis keras sekali. Aku tak terlalu menggubrisnya ketika sehari sampai dua hari dia menangis keras.

Tapi rasa ingin tahuku membuncah ketika sepekan aku selalu mendengar lelaki itu menangis. Aku tanya kanan kiri. Namanya Subandi, umur 55 tahunan.  Beberapa warga memberi saran agar aku tak mendatangi Subandi. Banyak yang bilang Subandi  sudah tak lurus pikirannya.

Tapi aku selalu terusik ketika dia menangis kala petang. Dia menangis kisaran 15 sampai 20 menit. Menangis jelang Mahgrib. Selalu seperti itu.

Sampai satu ketika, saat petang, aku memburu Bandi ke rumahnya. Rumahnya hanya berjarak 20 meter dari rumahku.

Ketika petang dan dia menangis aku mendatanginya. Dia sudah tahu aku. Artinya dia mengetahuiku dari orang lain. Dia mengetahuiku sebagai guru SD yang masih muda.

"Aku selalu menangis karena aku selalu seperti diperlihatkan banyak manusia ketika petang. Mereka mengalami nasib yang tak baik di alam sana. Ada Marno, dia lelaki yang sudah meniggal. Rumahnya di ujung dekat sungai. Aku melihat dia sangat kesuitan di alam sana. Padahal Marno sangat baik padaku. Ada Ridwan, ada Markum, ada Samiun, ada Yu Kamti. Ada banyak sekali. Aku seperti melihat kesedihan mereka ketika petang," kata Bandi padaku.

"Aku tak bisa membendung kesedihan itu. Mereka semua adalah orang Mbiru yang telah meninggal dunia," kata Bandi.

***

"Pak, kemarin aku temui Bandi petang hari. Setelah dia menangis dia cerita," kataku pada Pak Diran, sesepuh di desa.

"Mas, sudah kubilang. Bandi itu tidak waras. Jangan dekati dia," kata Pak Diran padaku.

"Tapi dia cerita tentang..." ujarku yang langsung dipotong.

"Dia ngomong soal Marno, Ridwan, Markum, Samiun, Yu Kamti kan? Nama-nama orang itu tidak ada di sini. Memang ada yang namanya Ridwan dan Kamti. Tapi mereka masih SMP. Kalau Bandi bilang nama-nama yang telah meninggal itu. itu bohong, tak ada nama mereka di desa ini. Aku lebih tua dari Bandi. Aku lebih tahu," kata Pak Diran agak meninggi.

***

"Bu, kemarin aku temui Bandi petang hari. Setelah dia menangis dia cerita," kataku pada Bu Sumi, salah satu wanita yang cukup supel.

"Mas, sudah kubilang. Bandi itu tidak waras. Jangan dekati dia," kata Bu Sumi yang  sama persis dengan Pak Diran.

"Tapi dia cerita tentang..." ujarku yang langsung dipotong.

"Dia ngomong soal Marno, Ridwan, Markum, Samiun, Yu Kamti kan? Nama-nama orang itu tidak ada di sini. Memang ada yang namanya Ridwan dan Kamti. Tapi mereka masih SMP. Kalau Bandi bilang nama-nama yang telah meninggal itu. itu bohong, tak ada nama mereka di desa ini. Aku lebih tua dari Bandi. Aku lebih tahu," kata Bus Sumi agak meninggi.

Pernyataan Bu Sumi dan Pak Diran sama persis. Kata-katanya, intonasinya. Sama persis.

***

 "Kang, kemarin aku temui Bandi petang hari. Setelah dia menangis dia cerita," kataku pada Kang Sodik, bapak dengan satu anak yang masih kecil.

"Mas, sudah kubilang. Bandi itu tidak waras. Jangan dekati dia," kata Kang Sodik sama seperti pernyataan Bu Sumi dan Pak Diran.

"Tapi dia cerita tentang..." ujarku yang langsung dipotong.

"Dia ngomong soal Marno, Ridwan, Markum, Samiun, Yu Kamti kan? Nama-nama orang itu tidak ada di sini. Memang ada yang namanya Ridwan dan Kamti. Tapi mereka masih SMP. Kalau Bandi bilang nama-nama yang telah meninggal itu. itu bohong, tak ada nama mereka di desa ini. Aku tahu dari almarhum bapakku," kata Kang Sodik mirip dengan peryataan Bu Sumi dan Pak Diran.

***

Aku merasa tak puas dengan ucapan-ucapan itu. Aku kemudian memutuskan mendatangi Kang Sarjan. Dia adalah lelaki yang katanya memiliki perspektif beda tentang Bandi. Aku mendatangi rumahnya sore hari.

"Bandi itu orang istimewa. Dia bisa mengetahui apa yang belum kita ketahui," katanya menerawang.

"Tapi soal..." omonganku dipotong.

"Soal nama-nama yang dia sebutkan? Ya memang nama-nama itu tak ada di desa ini. Tapi teruslah tanya, dia akan menyebutkan nama-nama lebih banyak. Nah, hitunglah, lalu dia akan menyebut nama ke ke 13. Nama ke 13 itu adalah nama warga desa ini. Yang dia sebut sebagai nama ke 13 adalah yang akan meninggal dua hari setelahnya," kata Kang Sarjan.

"Dulu ada yang namanya Munan. Dia disebut sebagai orang ke 13 pada ucapan Bandi. Munan meninggal sadis. Dia diracun. Sugi, juga pernah disebut sebagai nama ke 13 dan meninggal dengan bacokan. Ada juga beberapa nama lain," kata Kang Sarjan dengan mata melotot padaku.

"Aku sudah bicara ini ke banyak orang. Tapi karena aku diragukan, tak ada yang percaya. Kau datanglah ke rumah Bandi di tanggal 11. Di saat itulah dia akan menyebut nama ke 13. Jadilah saksi, di tanggal  13 orang yang disebut itu akan meninggal dunia. Bulan selanjutnya datanglah lagi di tanggal 11 ke rumah Bandi. Dia akan menyebut nama ke 13 dan dua hari kemudian akan meninggal. Percaya atau tidak, itulah faktanya," kata Kang Sarjan.

***

 Aku datang saja tanggal 11 ke rumah Bandi. Aku terus tanya dan hitung nama-nama yang dia sebut. "Budi tukang arang," kata Bandi padaku. Budi penjual arang adalah nama ke 13. Aku tak mau ambil pusing soal itu. Tapi tahukah kau, bahwa di tanggal 13, Budi arang tewas di hutan.

Badan Budi penuh dengan anak panah yang menancap. Itu jelas pembunuhan. Tapi melapor ke polisi bukan perkara yang gampang karena kantor polisi waktu itu cukup jauh. Ada lebih dari 10 Km. Saat aku takziah ke kediaman Budi, aku ketemu Kang Sarjan.

"Benar kan?" kata Kang Sarjan.

"Bukan benar kang, tapi kebetulan," kataku tanpa beban.

"Kebetulan kok berulang-ulang!" katanya.

Aku diam saja.

***

Tanggal 11 bulan berikutnya aku diajak Kang Sarjan ke rumah Bandi. Kang Sarjan tetap di teras dan aku diminta masuk menemui Bandi. "Jagal Abilawa," kata Bandi menyebut nama ke 13. Kau tahu siapa Jagal Abilawa itu? Itu namaku.

Tapi aku tak pernah ambil pusing dengan omongan Bandi. Kapan aku meninggal adalah hak pemilik dari diriku. Kadang aku juga merasa aneh dengan Kang Sarjan. Dia memaksa aku untuk mendengar Bandi menyebut orang ke 13 dan itu namaku. Tapi sudahlah, aku tak mau bahas lebih banyak.

Kau tahu, waktu itu aku sedang kasmaran dengan bu Yuni. Guru yang juga baru. Sopan, menarik, ramah. Aku sering tak bisa tidur karenanya. Seluruh tubuhku seperti kena sengatan listrik kalau berbincang dengannya.

***

Tanggal 13, Maman main ke kontrakanku. Maman ingin tidur di tempatku. Dia guru baru juga di desa sebelah. Naik sepeda sejak setelah Asar dan baru sampai rumah kontrakanku setelah Maghrib. Dia masuk dengan masih memakai helm. Naik sepeda tapi memakai helm sepeda motor.

Dia masuk ke rumah kontrakanku yang sangat sederhana sekali. Tak lama setelah dia masuk, ada ketukan pintu. "Aku saja yang buka," kata Maman.

Kau tahu? Setelah Maman buka pintu, sabetan parang mengarah ke bagian kepalanya. Untung helm masih dia pakai. Lalu, sabetan kedua nyerempet sedikit lengan Maman. Maman menutup pintu. Gaduh tak terkira. Aku memburu ke pintu, membawa pentung kasti sembari teriak maling. Si peneror pergi. Tak luka parah si Maman, hanya serempetan parang yang tak mengerikan.

Itu tanggal 13, dua hari setelah ucapan Bandi. Dan kau tahu? Setelah insiden serangan parang itu, aku tak pernah mendengar tangisan Bandi. Dia menghilang. Tak ada juga Kang Sarjan. Keduanya menghilang entah ke mana.

Aku jadi makin yakin bahwa tak ada yang kebetulan, seperti kata Kang Sarjan.

***

Lima tahun setelah itu, aku sudah pindah ke kota. Aku jadi guru di sekolah kota. Aku bisa menonton televisi, sekalipun ramai-ramai di rumah tetangga. Aku juga baru tahu ada berita besar tentang kasus pembunuhan berantai di Mbiru dan beberapa desa lain. Di televisi wajah dari dua pelakunya diburamkan. Tapi perawakan mereka sangat mirip dengan Bandi dan Kang Sarjan. Aku buru koran di pagi harinya. Benar saja, bahwa mereka adalah Bandi dan Sarjan.

Benar kata Kang Sarjan, "tak ada yang kebetulan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun