Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Menangis Tiap Petang

1 Juni 2023   19:52 Diperbarui: 1 Juni 2023   20:15 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 11 bulan berikutnya aku diajak Kang Sarjan ke rumah Bandi. Kang Sarjan tetap di teras dan aku diminta masuk menemui Bandi. "Jagal Abilawa," kata Bandi menyebut nama ke 13. Kau tahu siapa Jagal Abilawa itu? Itu namaku.

Tapi aku tak pernah ambil pusing dengan omongan Bandi. Kapan aku meninggal adalah hak pemilik dari diriku. Kadang aku juga merasa aneh dengan Kang Sarjan. Dia memaksa aku untuk mendengar Bandi menyebut orang ke 13 dan itu namaku. Tapi sudahlah, aku tak mau bahas lebih banyak.

Kau tahu, waktu itu aku sedang kasmaran dengan bu Yuni. Guru yang juga baru. Sopan, menarik, ramah. Aku sering tak bisa tidur karenanya. Seluruh tubuhku seperti kena sengatan listrik kalau berbincang dengannya.

***

Tanggal 13, Maman main ke kontrakanku. Maman ingin tidur di tempatku. Dia guru baru juga di desa sebelah. Naik sepeda sejak setelah Asar dan baru sampai rumah kontrakanku setelah Maghrib. Dia masuk dengan masih memakai helm. Naik sepeda tapi memakai helm sepeda motor.

Dia masuk ke rumah kontrakanku yang sangat sederhana sekali. Tak lama setelah dia masuk, ada ketukan pintu. "Aku saja yang buka," kata Maman.

Kau tahu? Setelah Maman buka pintu, sabetan parang mengarah ke bagian kepalanya. Untung helm masih dia pakai. Lalu, sabetan kedua nyerempet sedikit lengan Maman. Maman menutup pintu. Gaduh tak terkira. Aku memburu ke pintu, membawa pentung kasti sembari teriak maling. Si peneror pergi. Tak luka parah si Maman, hanya serempetan parang yang tak mengerikan.

Itu tanggal 13, dua hari setelah ucapan Bandi. Dan kau tahu? Setelah insiden serangan parang itu, aku tak pernah mendengar tangisan Bandi. Dia menghilang. Tak ada juga Kang Sarjan. Keduanya menghilang entah ke mana.

Aku jadi makin yakin bahwa tak ada yang kebetulan, seperti kata Kang Sarjan.

***

Lima tahun setelah itu, aku sudah pindah ke kota. Aku jadi guru di sekolah kota. Aku bisa menonton televisi, sekalipun ramai-ramai di rumah tetangga. Aku juga baru tahu ada berita besar tentang kasus pembunuhan berantai di Mbiru dan beberapa desa lain. Di televisi wajah dari dua pelakunya diburamkan. Tapi perawakan mereka sangat mirip dengan Bandi dan Kang Sarjan. Aku buru koran di pagi harinya. Benar saja, bahwa mereka adalah Bandi dan Sarjan.

Benar kata Kang Sarjan, "tak ada yang kebetulan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun