"Dia ngomong soal Marno, Ridwan, Markum, Samiun, Yu Kamti kan? Nama-nama orang itu tidak ada di sini. Memang ada yang namanya Ridwan dan Kamti. Tapi mereka masih SMP. Kalau Bandi bilang nama-nama yang telah meninggal itu. itu bohong, tak ada nama mereka di desa ini. Aku lebih tua dari Bandi. Aku lebih tahu," kata Bus Sumi agak meninggi.
Pernyataan Bu Sumi dan Pak Diran sama persis. Kata-katanya, intonasinya. Sama persis.
***
 "Kang, kemarin aku temui Bandi petang hari. Setelah dia menangis dia cerita," kataku pada Kang Sodik, bapak dengan satu anak yang masih kecil.
"Mas, sudah kubilang. Bandi itu tidak waras. Jangan dekati dia," kata Kang Sodik sama seperti pernyataan Bu Sumi dan Pak Diran.
"Tapi dia cerita tentang..." ujarku yang langsung dipotong.
"Dia ngomong soal Marno, Ridwan, Markum, Samiun, Yu Kamti kan? Nama-nama orang itu tidak ada di sini. Memang ada yang namanya Ridwan dan Kamti. Tapi mereka masih SMP. Kalau Bandi bilang nama-nama yang telah meninggal itu. itu bohong, tak ada nama mereka di desa ini. Aku tahu dari almarhum bapakku," kata Kang Sodik mirip dengan peryataan Bu Sumi dan Pak Diran.
***
Aku merasa tak puas dengan ucapan-ucapan itu. Aku kemudian memutuskan mendatangi Kang Sarjan. Dia adalah lelaki yang katanya memiliki perspektif beda tentang Bandi. Aku mendatangi rumahnya sore hari.
"Bandi itu orang istimewa. Dia bisa mengetahui apa yang belum kita ketahui," katanya menerawang.
"Tapi soal..." omonganku dipotong.