Si Nur tentu saja mulai gusar. Ada tanda jika si Alan bakal terjebak kemacetan sangat lama. Jika si Alan terjebak, tentu saja si Nur tak bisa pulang.
Padahal, anak si Nur yang baru berusia 3 tahun berkali kali meminta ke Monas. Ya, istri si Nur telepon ke si Nur dan memperdengarkan permintaan si anak ke Monas di malam tahun baru.
Aku tentu dengar suara istri Nur saat telepon karena suara di HP dikeraskan. HP si Nur kala itu communicator Nokia, yang mirip laptop kecil. Jika dibuka maka otomatis suaranya mengeras.
Nur membawaku ke warung nasi goreng tak jauh dari kantor kami. Sembari menunggu Alan balik ke kantor, kami makan nasi goreng dan ngobrol sekenanya.
Si Nur sibuk telepon Alan memastikan sudah sampai mana perjalanannya. Tapi sialnya sampai pukul 22.00 WIB, si Alan masih saja di Kalibata. Alan mengaku jika motornya masih tak bisa bergerak.
Di sisi lain, istri si Nur terus telepon dan memperdengarkan suara anaknya yang mulai parau. Suara anak yang minta ke Monas di malam tahun baru itu.
Aku yang mendengar suara anak kecil seperti itu saja tidak tega, apalagi si Nur. Berkali kali si Nur telepon si Alan untuk memastikan sampai di mana. Tapi tetap saja si Alan di Kalibata. Sementara, istri si Nur berkali kali telepon.
Aku hanya bisa melihat adegan itu dengan sedih. Tapi juga tertawa membayangkan si Alan terjebak macet dapat tugas berat di tahun baru. Kenapa aku tertawa? Karena si Alan ini anaknya sering konyol dan melakukan aksi yang di luar kebiasaan. Membayangkan dia terjebak macet, aku malah tertawa.
Sampai jam 23.00 WIB, adegannya tak berubah. Alan masih terjebak macet dan istri si Nur terus menagih ke Monas. Sementara warung nasi goreng akan tutup.
"Pak mau tutup," kata si penjual nasi goreng.
Kami adalah penongkrong terakhir di warung bapak penjual nasi goreng pada malam tahun baru itu. Terpaksa kami harus pergi dari tempat nongkrong warung nasi goreng.