Di tengah tanya itu, aku teringat Lek Riri. Lelaki kepala enam yang sudah meninggal tiga tahun lalu. Maaf, aku ngelantur sebentar cerita Lek Riri. Lupakan Covid-19 sebentar. Ya selintas aku ingat Lek Riri.
Kala masih hidup, Lek Riri hanya bisa kutemui ketika aku pergi ke rumah kakak perempuanku yang jaraknya 180 Km dari kediamanku kini. Kadang kalau aku menemui Lek Riri, aku mengingatkan namaku. Maklum dia sudah tua, kadang lupa nama dan wajah. Apalagi aku ke rumah kakakku paling setahun sekali.
Saat itu, anak Lek Riri dikejar penagih utang, dan pergi entah ke mana. Dia sudah cerai dengan istrinya. Aku tahu dia menceraikan istrinya diawali dengan pertarungan martabat seorang lelaki.
Lek Riri memainkan tubuh lelaki itu mirip kentongan yang bisa dipukul kapan saja. "Aku bisa menghabisinya waktu itu. Tapi tidak aku lakukan," kata Lek Riri padaku kala itu.
Lek Riri bisa saja membedah tubuh lelaki yang telah merayu istrinya itu. Merendahkan marwahnya sebagai lelaki. Tapi Lek Riri tak melakukannya.
Ya, di usia kepala enam. Lek Riri lebih bugar daripada teman-temannya yang lama hidup di jalan. "Koncoku wis ndekem kabeh (semua temanku hanya bisa berdiam di rumah karena sakit)," kata Lek Riri waktu itu padaku.
Di tengah sehat tubuhnya, dia harus bertarung dengan nyamuk dan dingin malam tiap harinya. Tugasnya menjaga toko di malam hari. Dia tidur di emperan toko di tepi jalan besar dan berhadapan dengan sawah yang membentang.
"Berat hidupnya, sudah tua harus mencari nafkah seperti itu," kataku tentang Lek Riri pada kakakku.
"Ya kalau dia tidak begitu mau makan apa. Tuhan telah memberikan kekuatan padanya luar biasa. Toh dia jarang terlihat sakit. Semua orang sudah ada jatahnya," kata kakakku waktu itu.
Ya... Sudah ada jatahnya. Seperti kata kakakku tentang Lek Riri. Jika Covid-19 adalah jatahku, maka akan ada jalan lain dari Tuhan untuk keseharian keluargaku.
Jalani saja!