Dan entah mengapa, aku tak terlalu khawatir ketika menunggu hasil swab. Aku sibuk baca info tentang Euro 2020. Sampai kemudian, hasilnya diberi tahu bahwa aku negatif.
Agak lega. Berarti hanya istriku yang positif. Beberapa jam kemudian, ada informasi dari kakak perempuanku yang membicarakan Lek Riri itu. Suaminya positif Covid-19.
"Kita saling mendoakan saja bude," tulisku pada kakakku.
***
Cerita di atas adalah ceritaku pribadi. Sebelum terjangan Covid-19 itu, aku sebenarnya sudah sangat menduga bahwa serangan virus itu akan luar biasa.
Beberapa kali aku lihat hajatan, kerumunan. Jika kau pernah hidup di desa, mungkin kau akan merasakan bagaimana rasa sungkan itu bergelayut tak keruan.
Hajatan sering dimaknai sebagai kewajiban untuk datang. Kewajiban sosial yang jika tak kau datangi, efeknya bisa panjang. Padahal, situasinya saat ini tak menguntungkan karena pandemi.
Aku pun harus sering cari celah. Jika sama ibuku, aku cari ruang yang sepi kala mendatangi hajatan. Kalau sudah berbondong bondong tamu datang, aku langsung mengajak ibuku pulang.
Ya begitulah. Jika kerumunan dan sejenisnya tak sirna, virus ini akan merajalela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H