Maksud dari tulisan ini adalah bahwa grup bernama Bintang Tamu Selanjutnya (BTS) memiliki channel YouTube. BTS yang terdiri atas Afton Brewok, Braham Faola, dan Somad, ndopok alias ngobrol pakai bahasa Banyumasan. Klaimnya, mereka adalah yang pertama melakukan podcast ndopok Banyumasan. Aksi mereka mengocok perut bisa dilihat di channel "bintang tamu selanjutnya" di YouTube. Â
***
Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan Aris Darmasyah, salah satu personel BTS. Lelaki yang beken dengan nama Somad ini berbicara panjang lebar soal hasrat dan ide-idenya. Dengan tembakau di tangan kanan dan kopi di tangan kiri, dia memperlihatkan ekspresi yang serius.Â
Bibirnya tak henti bergerak. Sesekali dia tersedak karena asap dan kopi bertarung di tenggorokannya. "Ini adalah risiko seorang pemikir," katanya lalu terkaget-kaget. Kenapa kaget? Karena dia pun juga heran mengapa bisa mengucapkan pernyataan itu.Â
"Sesuatu yang tak pernah kuduga," katanya juga sembari terkaget. Kenapa terkaget? Alasannya sama seperti alasan yang pertama.Â
Dia mengawali dengan berbicara tentang paradigma Administrasi Negara versi Nicolas Henry. Tentu bukan hal yang aneh ketika Somad berbicara soal Administrasi Negara atau yang saat ini dinamakan Administrasi Publik. Sebab, dia adalah lulusan Administrasi Negara Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Lalu dia bicara apa soal Nicolas Henry? Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat mengagumkan. Entah setan apa yang merasukinya hingga bisa sebrilian itu. Dia bisa menjelaskan dengan jernih lima paradigma Nicolas Henry, dari mulai dikotomi Administrasi Negara dengan Politik sampai Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara.Â
Usai bicara soal ilmu yang pernah dia selami, Somad seperti menahan bara. Wajahnya memerah, mulutnya menahan asap dan kopi yang telah tertelan. Raut mukanya benar-benar seperti bandar yang kalah judi. Kecut.Â
Berdiri agak merunduk, dia menahan perutnya. "Aku tak kuat, ingin buang hajat. Mau ikut?" katanya menawariku.
"Pantesan dari tadi aku membaui hal yang tak enak," batinku.Â
Di toilet depan itu, dia masuk. Kisaran 20 menit, segala bebannya telah keluar. Dia merasa sudah plong. Keluar dari toilet auranya terpancar lega. Satu tangannya berkacak pinggang, tangan lainnya memegang daun pintu.Â
"Gimana Bung! Kita bahas lagi soal Nicolas Henry?" teriaknya padaku dari jauh. Teriakan itu membuat orang-orang menyorot padanya. Tapi, dia lupa belum memakai celana. Sembari menutup miliknya yang tak seberapa itu, Somad pun kembali masuk toilet. Keluar dari toilet dia jalan pelan, menunduk malu.Â
Lalu, dengan peci khasnya itu, dia membawaku ke rumah bagian dalam. Dia ingin membuang penat sementara. Diperlihatkannya ikan koi padaku. "Ini untuk mengusir suntuk. Menjadi komedian itu tak mudah. Butuh keseriusan yang dalam," katanya.Â
"Tempo hari, aku kehilangan banyak ikan koi. Banyak ikan koiku mati..." katanya sembari menahan sedih.
"Kenapa mati? Tak kau beri makankah?" tanyaku.
"Tidak. Aku rutin memberi makan. Tapi di hari itu, setelah aku beri makan, aku tak memberinya minum. Akhirnya banyak yang keseleg dan tewas," katanya serius.
Saking cintanya dengan koi, Somad mengaku pernah memiliki tato ikan koi di punggungnya.Â
"Bisa aku lihat?" pintaku.Â
"Sudah tak ada," katanya.
"Kok bisa?" tanyaku.Â
"Ada tato dua buah ikan koi di punggungku. Tapi saat aku berenang, tato koi itu melarikan diri. Dia menyelinap ke air dan menjadi nyata. Kecewa sekali. Mirip kekecewaanku ketika ditinggalkan....," katanya sembari buru-buru meraih jemariku untuk menutup bibirnya.
Lalu, tanpa berdiri, dia mengambil pengeras suara yang tak jauh dari kami. Dia mengajak berkaraoke. Sekali hentakan, suara Somad meraung-raung. Nada suaranya mirip celana kolor yang sudah rusak, naik turun serampangan.Â
Kemudian, praaaang, suara panci menumbuk tembok, hampir mengenai kepala Somad. Istrinya marah besar. "Ndopok bae, nyanyi bae, ngumbahi ngana!" hentak istrinya.Â
Somad berdiri dan bau itu menyengat luar biasa.Â
"Ngapurane, nyong lali ora nganggo pampers!" katanya padaku.Â
"Wah mendoan bosok!" batinku getir.Â
***Â
Jadi, inti dari tulisan ini adalah paragraf pertama di atas. Selebihnya diabaikan saja. Jika pun sama dengan kenyataan, itu hanya kebetulan saja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H