Di toilet depan itu, dia masuk. Kisaran 20 menit, segala bebannya telah keluar. Dia merasa sudah plong. Keluar dari toilet auranya terpancar lega. Satu tangannya berkacak pinggang, tangan lainnya memegang daun pintu.Â
"Gimana Bung! Kita bahas lagi soal Nicolas Henry?" teriaknya padaku dari jauh. Teriakan itu membuat orang-orang menyorot padanya. Tapi, dia lupa belum memakai celana. Sembari menutup miliknya yang tak seberapa itu, Somad pun kembali masuk toilet. Keluar dari toilet dia jalan pelan, menunduk malu.Â
Lalu, dengan peci khasnya itu, dia membawaku ke rumah bagian dalam. Dia ingin membuang penat sementara. Diperlihatkannya ikan koi padaku. "Ini untuk mengusir suntuk. Menjadi komedian itu tak mudah. Butuh keseriusan yang dalam," katanya.Â
"Tempo hari, aku kehilangan banyak ikan koi. Banyak ikan koiku mati..." katanya sembari menahan sedih.
"Kenapa mati? Tak kau beri makankah?" tanyaku.
"Tidak. Aku rutin memberi makan. Tapi di hari itu, setelah aku beri makan, aku tak memberinya minum. Akhirnya banyak yang keseleg dan tewas," katanya serius.
Saking cintanya dengan koi, Somad mengaku pernah memiliki tato ikan koi di punggungnya.Â
"Bisa aku lihat?" pintaku.Â
"Sudah tak ada," katanya.
"Kok bisa?" tanyaku.Â
"Ada tato dua buah ikan koi di punggungku. Tapi saat aku berenang, tato koi itu melarikan diri. Dia menyelinap ke air dan menjadi nyata. Kecewa sekali. Mirip kekecewaanku ketika ditinggalkan....," katanya sembari buru-buru meraih jemariku untuk menutup bibirnya.