Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Sepak bola Argentina

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepinya Musala Kampung Kami

22 Maret 2021   12:14 Diperbarui: 22 Maret 2021   12:28 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami punya 10 tempat salat di desa kami. Kami sebut tempat salat itu adalah musala. Aku hanya ingin cerita tentang satu musala saja.

Ceritanya begini. Musala itu untuk menampung dua RT yang ada di desa kami. Nama musalanya adalah An-nur. Sejak dahulu musala ini selalu sepi jemaah.

Berbeda dengan musala yang lain di desa kami. Ya memang ada juga yang sepi, seperti musala An-nur, tapi tak sesepi yang diderita An-nur. Di An-nur, hanya ada satu orang yang selalu menjadi imam. Dia satu-satunya laki-laki yang salat di musala. Makmumnya kisaran tiga perempuan.

Fenomenanya selalu seperti itu. Pak Wanto namanya. Dia imam, sekaligus muazin. Ya azan sendiri, ya mengimami sendiri tanpa ada lelaki lain. Kau tahu kenapa musala An-nur sepi? Aku sendiri tak tahu detail. Tapi ceritanya adalah Pak Wanto yang sok lurus itu.

Pak Wanto merasa dialah pemegang tunggal tafsir agama. Sebagai imam di musala, Pak Wanto merasa berhak menafsir apapun soal agama. Padahal, Pak Wanto itu ya ilmu agamanya tak seberapa. Tapi, dia merasa yang paling top.

Dahulu ada Maun yang tukang palak itu. Aku mendapati dia sepertinya ingin berubah. Entah karena apa. Dia sudah tak mau memalak lagi. Nah, satu ketika aku melihatnya berwudu di musala.

Aku bukan siapa-siapanya Maun. Tapi aku ikut senang dia mau menginjak musala An-nur. Waktu itu aku sedang berlalu di depan musala. Eh setelah Maun selesai wudu, dari jendela suara Pak Wanto muncul.

"Nah, jadi orang seperti itu, ke musala. Tempat salat diramaikan. Jangan jadi tukang palak thok," kata Pak Wanto ke Maun dengan sangat keras.

Aku langsung tersentak. Bagaimana orang ingin baik, lalu dikatakan seperti itu dengan suara yang keras. Semua orang di situ dengar bagaimana Pak Wanto "merendahkan" Maun.

Ah dan ternyata, itu adalah pertama dan terakhir Maun ke musala An-nur. Dia enggan lagi ke sana. Tapi untungnya Maun memang sudah tobat. Dia salat di musala RT tetangga. Enggan lagi di An-nur.

Wardi, yang sibuk bukan kepalang memang jarang terlihat di musala. Padahal rumahnya hanya berjarak lima meter dari musala. Nah satu ketika, Soni yang merupakan anak Wardi, jalan lewat musala An-nur saat Zuhur. Pak Wanto kemudian berteriak ke Soni.

"Bapakmu itu ke mana sih. Rumah sepelemparan batu ke musala pun tak pernah. Rumah dekat kok tak pernah menginjak musala," kata Pak Wanto dengan tanpa tedeng aling-aling.

Soni yang masih tanggung itu  hanya celingukan. Nah, tak tahunya, Wardi ada di  depan rumah, terhalang pepohonan. Dibilang seperti itu dengan kata keras, mata Wardi memerah. "Aku ngga akan menginjak musala itu lagi," kata Wardi.

Pada akhirnya, Wardi lebih sering ke musala RT sebelah, seperti Maun.

Pak Wanto, serampangan menafsirkan ayat dalam kitab suci. Dia tak memiliki ilmu yang memadai. Bermodal keyakinan dan percaya diri, Pak Wanto pun selalu menunjuk hidung siapapun yang enggan ke musala.

Sampai akhirnya, kami punya warga baru. Namanya Kiman. Dia cukup memiliki ilmu agama. Satu ketika, Kiman memegang pengeras suara untuk azan. Wah suaranya merdu sekali. Lebih merdu dari suara Pak Wanto.

Semua orang kemudian membicarakan Kiman yang bersuara emas itu. Eh ternyata, Pak Wanto cembokur alias cemburu. Dia merasa panggungnya direbut Kiman. Pak Wanto kebakaran jenggot.

Lalu, di kumpulan RT, Pak Wanto mulai menyudutkan Kiman. Alasannya macam-macam. Misalnya Kiman disebut salat  kadang tak pakai penutup kepala, disebut tak memiliki sopan santun karena main ambil pengeras suara tanpa minta izin untuk azan.

Kiman terus dibombardir oleh Pak Wanto selama sebulan. Kiman lalu merasa terbakar amarahnya. Di pertemuan RT selanjutnya, Kiman membawa bacaan klasik agama dengan tulisan tanpa harakat. Di pertemuan RT itu, Kiman langsung ngegas.

"Pak Wanto, kan merasa pandai ya. Silakan dibaca ini pak. Biar kami tahu bagaimana pandainya Pak Wanto," kata Kiman sembari menyodorkan  bacaan klasik itu.

Pak Wanto gemetaran ternyata. Nah di situlah Kiman yang sudah meluap emosinya, menjejali Pak Wanto dengan ceramah bermenit-menit.

"Kalau memang tak paham agama, jangan sok menjadi sosok yang paling benar sendiri. Paham saja tidak, modal cuma pikiran sendiri. Seperti itu kok bangga. Pak Wanto belajar dulu yang banyak sebelum gampang menyudutkan orang, menyakiti hati orang. Selama Pak Wanto tak mengubah tabiat, musala akan selalu sepi. Kalau musala sepi, bukan hanya salah jemaah, tapi itu juga andil Pak Wanto yang merasa ingin jadi raja," kata Kiman.   

Pak Wanto diberondong macam-macam kata yang menyengat. Wajahnya terlihat kuyu tak lagi unyu-unyu. Ternyata bukan hanya Kiman yang menyerang. Pak Diran, Pak Deri, Kang Marta, juga bertubi-tubi menyerang Pak Wanto.

Sejak pertemuan itu, Pak Wanto merasa berdosa amat sangat. Dia menyesali dirinya sendiri. Pak Wanto sakit tak bisa jalan. Dia tak mau makan. Lalu, tak ada lagi imam di musala An-nur. Sebab, semua orang sudah pindah ke musala RT sebelah.

Sore ini aku dapat informasi Pak Wanto wafat. Innalillahi wainna ilaihi rajiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun