"Bapakmu itu ke mana sih. Rumah sepelemparan batu ke musala pun tak pernah. Rumah dekat kok tak pernah menginjak musala," kata Pak Wanto dengan tanpa tedeng aling-aling.
Soni yang masih tanggung itu  hanya celingukan. Nah, tak tahunya, Wardi ada di  depan rumah, terhalang pepohonan. Dibilang seperti itu dengan kata keras, mata Wardi memerah. "Aku ngga akan menginjak musala itu lagi," kata Wardi.
Pada akhirnya, Wardi lebih sering ke musala RT sebelah, seperti Maun.
Pak Wanto, serampangan menafsirkan ayat dalam kitab suci. Dia tak memiliki ilmu yang memadai. Bermodal keyakinan dan percaya diri, Pak Wanto pun selalu menunjuk hidung siapapun yang enggan ke musala.
Sampai akhirnya, kami punya warga baru. Namanya Kiman. Dia cukup memiliki ilmu agama. Satu ketika, Kiman memegang pengeras suara untuk azan. Wah suaranya merdu sekali. Lebih merdu dari suara Pak Wanto.
Semua orang kemudian membicarakan Kiman yang bersuara emas itu. Eh ternyata, Pak Wanto cembokur alias cemburu. Dia merasa panggungnya direbut Kiman. Pak Wanto kebakaran jenggot.
Lalu, di kumpulan RT, Pak Wanto mulai menyudutkan Kiman. Alasannya macam-macam. Misalnya Kiman disebut salat  kadang tak pakai penutup kepala, disebut tak memiliki sopan santun karena main ambil pengeras suara tanpa minta izin untuk azan.
Kiman terus dibombardir oleh Pak Wanto selama sebulan. Kiman lalu merasa terbakar amarahnya. Di pertemuan RT selanjutnya, Kiman membawa bacaan klasik agama dengan tulisan tanpa harakat. Di pertemuan RT itu, Kiman langsung ngegas.
"Pak Wanto, kan merasa pandai ya. Silakan dibaca ini pak. Biar kami tahu bagaimana pandainya Pak Wanto," kata Kiman sembari menyodorkan  bacaan klasik itu.
Pak Wanto gemetaran ternyata. Nah di situlah Kiman yang sudah meluap emosinya, menjejali Pak Wanto dengan ceramah bermenit-menit.
"Kalau memang tak paham agama, jangan sok menjadi sosok yang paling benar sendiri. Paham saja tidak, modal cuma pikiran sendiri. Seperti itu kok bangga. Pak Wanto belajar dulu yang banyak sebelum gampang menyudutkan orang, menyakiti hati orang. Selama Pak Wanto tak mengubah tabiat, musala akan selalu sepi. Kalau musala sepi, bukan hanya salah jemaah, tapi itu juga andil Pak Wanto yang merasa ingin jadi raja," kata Kiman. Â Â