Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Slamet yang Dituding Milenial Abal-Abal

26 Juli 2020   06:14 Diperbarui: 26 Juli 2020   06:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi milenial. Dok psma kemendikbud dipublikasikan Kompas.com

Slamet namanya. Lengkapnya, Slamet Malem. Dulu bapaknya yang buta huruf, asal saja memberi nama. Akhirnya itulah namanya, Slamet Malem. Lahir di tahun 1986, saat Maradona mencetak gol "Tangan Tuhan".

Dalam kerangka generasi, maka Slamet ini dikategorikan sebagai generasi milenial. Kenapa? Karena Slamet lahir di rentang waktu seseorang dikatakan generasi milenial yakni antara 80-awal sampai 90-an akhir atau 2000 awal.

Slamet tiap hari ke sawah, kalau pas musim tanam. Kalau musim tanam sudah selesai, Slamet kadang jadi kuli bangunan. Kulit Slamet legam. Tapi karena legam itu pula, Sri akhirnya mau menikah dengan Slamet.

Sri terkagum-kagum pada orang hitam karena suka dengan lagunya Rita Sugiarto yang membahas orang hitam. Saking kagumnya, dulu justru Sri yang nembak Slamet. Slamet yang suka tersenyum dengan gigi kuning langsat itu, mengiyakan saja ketika ditembak Sri.

Mereka menikah dan sudah punya satu anak yang diberi nama Salman. Maklum Slamet dan Sri ngefans dengan Salman Khan yang aktor Bollywood itu. Sri sibuk dengan anaknya dan Slamet sibuk dengan pekerjaannya.

Sekalipun generasi milenial, Slamet memang tak memiliki ciri milenial seperti orang milenial. Slamet tak bisa mengoperasikan laptop. Telepon genggam hanya bisa pesan pendek dan telepon. Tak juga punya media sosial. Pendidikan? Slamet hanya lulusan SD.

Satu ketika di kecamatan akan ada acara pemberdayaan kaum milenial. Yang mengadakan acara itu adalah pihak kecamatan dan lembaga swasta. Rencananya, pemberdayaan itu akan menguatkan kemampuan generasi milenial di dunia maya. Selain itu, agar generasi milenial bisa tetap enerjik maka mereka akan dikenalkan dengan beberapa pengusaha ternama kabupaten. Ya, membuka jaringan agar nanti bisa bermanfaat.

Konon kabarnya, para milenial itu juga diikat perjanjian bahwa mereka akan dikaryakan lembaga swasta itu selama 1 tahun tanpa digaji, hanya diberi uang transport dan makan.

Warman, teman TK Slamet, berinisiatif mendaftarkan Slamet. Pendaftaran dilakukan satu hari sebelum pelaksanaan acara. Warman menilai Slamet sudah jauh tertinggal kereta. Warman yang sayang pada Slamet itu menilai jika si kawan harus lebih modern. Warman kemudian minta tembusan surat ke desa dan membawa Slamet ke tempat pendaftaran.

Lho, kenapa Warman tak mendaftar juga? Kan seusia sama Slamet? Oh kalau itu karena Warman lagi sibuk mau pilkada. Dia adalah salah satu tim sukses satu pasangan calon. 

Akhirnya sampai juga Warman dan Slamet di kantor kecamatan. Saat pendaftaran itu, Slamet sudah memakai pakaian yang layak, setidaknya untuk ukurannya. Dia memakai kemeja panjang warna putih, tapi belum disetrika. Celana bahan dengan bentuk cutbrai biru muda dia pakai. Itu celana milik almarhum ayahnya. Dari kejauhan Slamet seperti anak SMA yang sering tak naik kelas. Maklum, dari jauh pun Slamet terlihat tua.

Warman mendaftarkan Slamet. Panitia yang terlihat kinyis-kinyis baru lulus kuliah itu terheran-heran. Salah satu panitia meminta KTP Slamet, untuk memastikan usianya. "Oh ok," kata seorang panitia lirih setelah melihat KTP Slamet.

Slamet dipersilakan masuk ke ruangan lain, tanda bahwa dia memang milenial. Tapi, saat Slamet jalan, laki-laki gemuk langsung memanggil Slamet. Lelaki yang usianya mirip dengan Slamet itu langsung mengusir Slamet.

"Kang, pulang saja. Nyangkul saja lebih pantas," kata lelaki itu. Slamet yang memang pendiam, putar balik untuk pulang. Tapi, Warman tak terima.

"Bro, dia itu milenial," kata Warman.

"Milenial itu ya lihat penampilannya juga," timpa lelaki gendut panitia itu.

Warman mulai ngegas. "Yang namanya milenial itu generasi. Generasi itu ditentukan kelahirannya, bukan penampilannya," kata Warman sambil menunjuk si lelaki gendut itu.

"Tetap ngga bisa. Generasi milenial itu harus modis. Bisa gunakan laptop, adaptif dengan zaman. Dia dari penampilannya 'ngga banget'," kata si gendut.

"Justru kalau dia tak bisa gunakan laptop, maka itu tugasmu untuk memberdayakan," kata Warman ngegas lagi. Slamet dari tadi kelihatan bingung. Tapi dia paham jika Warman sedang naik pitam.

Slamet pun merangkul Warman dan meminta si teman itu tak adu mulut lagi.  Slamet pun agak menarik keras badan Warman yang kurus itu. Warman pun terpelanting. Keduanya keluar ruangan dengan mulut Warman masih bergumam.

"Sudah lah Man. Kalau memang tak boleh ikut, ya tak usah ikut. Ngga apa-apa kok," kata Slamet setelah meneguk es teh yang baru dia beli. Warman kemudian merebut es teh Slamet. Maklum, keduanya lagi bokek. Mereka jongkok di depan kantor kecamatan.

"Met, tak bisa seperti itu. Kamu punya hak ikut pemberdayaan. Panitia itu kan cuma modal tenaga dan pikiran. Dananya itu kan dari pemerintah. Pemerintah dananya kan sebagian besar dari pajak kita-kita. Kamu berhak. Perkara kamu wajahnya boros, itu bukan ukuran. Kamu ngga bisa laptop, ya justru di sini kamu bisa belajar. Kalau mereka ngga mau menerimamu itu kan akal-akalan saja. Karena mereka mau peserta yang sudah paham teknologi," kata Warman.

Slamet minta es teh di tangan Warman sembari berpikir. "Ini kan sudah tidak adil Met. Jadi milenial itu hanya untuk anak kota atau anak yang akrab dengan telepon genggam, atau yang tiap hari buat status panas pakai akun palsu," kata Warman.

Slamet bingung Warman ngomong apa. Pandangan Slamet langsung ke arah sampingnya. "Man, itu kan Darsono," kata Slamet. Darsono adalah lelaki kelahiran 1977 yang aktif di dunia maya. Berpakaian trendi layaknya anak milenial.

Dia pakai baju yang di belakangnya ada tulisannya, "Suara Milenial". Warman curiga. Dia buntuti Darsono. Ah benar juga! Darsono mendaftar pemberdayaan dan diperbolehkan. Padahal, dia tak masuk kategori milenial. Warman teriak-teriak pada panitia. Semua orang terdiam. Warman acung-acungkan jarinya. Semua diam.

Slamet kemudian masuk dan ingin membawa Warman keluar. Tapi sebelum Slamet meraih tangan Warman, tangan Slamet malah dipegang polisi. Slamet bingung. Dia kemudian diinterogasi di kantor polisi. Slamet dituduh berbuat onar. Slamet makin bingung karena yang berbuat onar adalah Warman. Bukan hanya bingung, Slamet juga ketakutan diinterogasi polisi. Celananya sudah basah, bau pesing. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun