Aku juga mengetahui bahwa distribusi pupuk ditentukan zona. Petani Desa A membeli pupuk di warung Desa A. Petani Desa B membeli pupuk di warung Desa B. Warung-warung pendistribusi pupuk ke petani itu sudah ditentukan. Â
Nah, yang jadi repot ketika pupuk langka atau terbatas. Warung di Desa A tak memiliki pupuk untuk dijual. Sementara, warung di Desa B memiliki pupuk untuk dijual. Zonasi kemudian menjadi ruwet karena petani di Desa A dan Desa B berebut jatah pupuk di Desa B.
Kau tahu kan jika sudah seperti itu, maka "pertarungan" antarpetani bisa terjadi. Mereka berebut dan siapa yang lebih cepat, maka akan dapat. Perebutan itu kemudian menjadikan suasana tak enak antarpetani. Suasana yang tak menguntungkan bagi kelompok yang sudah distigma miskin, kotor, susah pula.
Masa-masa ini, pupuk pun bukan hanya langka, tapi harganya melambung tak terkira. Karena pupuk langka, maka pasti ada yang tidak dapat jatah pupuk. Kalau sudah seperti itu? Ya aku tak tahu selanjutnya.
Yang pasti, kelangkaan pupuk bukan kali ini saja aku rasakan. Sebelumnya pun dengan terik yang menyengat, aku harus keliling dengan petani untuk mencari pupuk. Kadang dapat, kadang tak dapat. Runyam memang.
Jadi, petani itu bertarung dari mulai masa akan menanam dengan masalah pupuk, masa tanam dengan hama, dan masa panen dengan harga anjlok. Aku tak pernah tahu sampai kapan ada orang yang mau bertahan menjadi petani padi di sawah. Karena sangat-sangat berat. Sementara, sebagian kita tinggal makan saja nasi yang sudah tersedia, tak tahu bahwa ada perjuangan "berdarah-darah" di sawah sana. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H