Menjadi petani itu perlu perjuangan ekstra. Petani harus bertarung dengan hama, menerima ketika ada kelangkaan pupuk, berburu dan bahkan berebut air di masa tanam, serta ancaman harga anjlok saat masa panen. Â
Petani padi itu menyedihkan. Ancaman bagi mereka merebak tak terhingga. Saat panen, bisa saja harga gabah anjlok. Saat kemarau, air yang ditunggu sulit datang sampai kemudian pertengkaran di sawah kadang terjadi.
Dulu, di Purbalingga Jawa Tengah, ada dua petani sampai duel dengan senjata tajam karena berebut air untuk pengairan sawah. Kau tahu, jika musim kemarau itu, petani harus berjaga di dinihari berebut aliran air. Mereka yang tak berada di sawah ketika dinihari maka padinya terancam tak akan mendapatkan aliran air.
Hama? Jangan ditanya lagi. Ada belalang, ada tikus, ada juga burung. "Paling susah itu wereng," begitu penuturan petani di pantai utara Jawa ketika aku ajak ngobrol beberapa waktu lampau. Tiap masa tanam, hama-hama itu jadi musuh setia petani. Â
Prestise? Sudahlah tak perlu bicara prestise. Saat ini tak ada anak yang memiliki cita-cita menjadi petani. Karena orangtua telah melabeli petani dengan kemiskinan, kekotoran, kegagalan, khususnya bagi petani penggarap. Padahal, tahukah kau jika nasi di rumah makan mewah, di hotel, di dapur rumah itu, adalah kerja keras para petani.
Petani itu diperas keringatnya, distigma profesinya, diambil nasinya. Lalu dilupakan. Paling di masa pemilu saja dibicarakan, sembari diberi kaus bergambar partai atau calon kepala daerah atau calon presiden atau calon anggota dewan pusat dan daerah.
Petani kerja keras kisaran tiga sampai empat bulan. Mereka berjemur panas. Mereka juga bercampur was-was saat hujan turun tak henti-henti. Memanggul beban sampai 50 kilogram dengan tangan kosong. Fenomena itu aku lihat sendiri akhir-akhir ini. Aku memang bukan petani, tapi dalam beberapa tahun terakhir aku hidup dikelilingi banyak petani.
Ada kalanya aku ikut membantu mereka, sebisaku saja tentunya. Salah satu yang paling aku rasakan kini adalah bagaimana membantu petani untuk mencari pupuk. Pupuk langka. Aku dengar warung yang biasa mendistribusikan pupuk  di desaku tak memiliki stok. Infonya, tak ada pupuk di Purwokerto, Jawa Tengah. Banyak pedagang memang mengambil pupuk di Purwokerto.
Aku mencoba mencari ke warung lainnya. Hasilnya sama saja, nihil! Hari ini aku baru mendapatkan informasi bahwa di desa tetangga masih ada pupuk yang kami cari. Aku buru informasi itu seperti ikan melahap makanan. Aku datang ke rumah tetangga, dia bilang bahwa dirinya hanya dibelikan oleh adiknya.
Aku datangi rumah adiknya. Katanya pupuk yang dia dapatkan adalah stok terakhir. Lagipula, katanya, mencari pupuk ke desa tetangga jelas untung-untungan. Bisa-bisa malah menjadi "pertarungan" antar petani.
Zonasi
Aku juga mengetahui bahwa distribusi pupuk ditentukan zona. Petani Desa A membeli pupuk di warung Desa A. Petani Desa B membeli pupuk di warung Desa B. Warung-warung pendistribusi pupuk ke petani itu sudah ditentukan. Â
Nah, yang jadi repot ketika pupuk langka atau terbatas. Warung di Desa A tak memiliki pupuk untuk dijual. Sementara, warung di Desa B memiliki pupuk untuk dijual. Zonasi kemudian menjadi ruwet karena petani di Desa A dan Desa B berebut jatah pupuk di Desa B.
Kau tahu kan jika sudah seperti itu, maka "pertarungan" antarpetani bisa terjadi. Mereka berebut dan siapa yang lebih cepat, maka akan dapat. Perebutan itu kemudian menjadikan suasana tak enak antarpetani. Suasana yang tak menguntungkan bagi kelompok yang sudah distigma miskin, kotor, susah pula.
Masa-masa ini, pupuk pun bukan hanya langka, tapi harganya melambung tak terkira. Karena pupuk langka, maka pasti ada yang tidak dapat jatah pupuk. Kalau sudah seperti itu? Ya aku tak tahu selanjutnya.
Yang pasti, kelangkaan pupuk bukan kali ini saja aku rasakan. Sebelumnya pun dengan terik yang menyengat, aku harus keliling dengan petani untuk mencari pupuk. Kadang dapat, kadang tak dapat. Runyam memang.
Jadi, petani itu bertarung dari mulai masa akan menanam dengan masalah pupuk, masa tanam dengan hama, dan masa panen dengan harga anjlok. Aku tak pernah tahu sampai kapan ada orang yang mau bertahan menjadi petani padi di sawah. Karena sangat-sangat berat. Sementara, sebagian kita tinggal makan saja nasi yang sudah tersedia, tak tahu bahwa ada perjuangan "berdarah-darah" di sawah sana. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H