Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No. M/6/HI.00.01/V/2020. Seperti dikutip kontan.co.id, dari SE itu kondisi perusahaan bisa jadi dasar pemberian THR.
Jika keuangan perusahaan tak memungkinkan, maka THR bisa ditunda atau dicicil. Mekanisme itu diserahkan kepada pengusaha dan buruh untuk membicarakannya.
Kesepakatan antara pengusaha dan buruh tersebut disampaikan pada dinas terkait. SE itu juga menjelaskan jika THR sekalipun ditunda atau dicicil, harus diberikan di tahun 2020.
Aturan seperti itu akan membuat harapan buruh mendapatkan THR seperti biasanya terancam. Seperti biasa, THR diberikan sebelum Lebaran. Namun, SE itu memungkinkan pemberian THR molor. Maka, mendapatkan THR jelang Lebaran pun terancam hanya khayalan.
Di tengah suasana seperti ini, buruh tentu sangat berharap dengan adanya THR. Apalagi, sebagian kebutuhan pokok merangkak naik, walaupun ada juga yang turun.
Terlebih, THR itu sangat berharga bagi yang sudah berumahtangga dan memiliki anak. THR bisa digunakan untuk biaya tambahan anak di masa Covid-19. Apa biaya itu, ya biasa soal kuota telepon genggam yang bisa membengkak karena sekolah online.
Diawasi
Saya menilai mekanisme awal untuk penundaan atau pencicilan THR diawasi oleh pihak terkait. Misalnya dinas tenaga kerja di kabupaten atau kota bersangkutan.
Misalnya ada perusahaan A di kota X mengaku tak memiliki dana dan tak bisa membayar THR tepat waktu. Bagi saya, dinas terkait harus menjadi penjembatan antara pengusaha dan buruh. Jangan sampai karena tanpa pengawasan justru merugikan.
Sebagai orang yang belasan tahun pernah jadi buruh, kecenderungan buruh dirugikan memang besar. Hal itu ketika perusahaan tak terbuka dengan keuangan yang ada. Misalnya, perusahaan dengan banyak dalih menutup akses siapapun untuk melihat uang perusahaan.
Namun, bisa juga kondisi sebaliknya. Misalnya perusahaan malah dirugikan karena desakan dari buruh, walaupun hal itu kecil kemungkinannya terjadi. Efek samping dari pembicaraan buruh dan perusahaan harus diantisipasi oleh dinas setempat.
Kedua, dinas setempat juga harus bisa terus mengawasi apakah THR sudah dicicil atau sudah dibayarkan. Jangan sampai, setelah ada usaha pencicilan atau penundaan, yang terjadi malah bablas, tak ada pembayaram THR.
Saya pikir, jika ada perusahaan yang bandel, pemerintah daerah berani bertindak. Tindakan pemerintah daerah adalag bentuk marwah pemerintahan di hadapan dunia usaha.
Fenomena Buruh
Fenomena buruh memang berbeda dengan pegawai negeri sipil (PNS) atau yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN). Buruh dan ASN sendiri diatur dalam UU yang berbeda.
Buruh diatur oleh UU Ketenagakerjaan dan ASN diatur dalam UU Kepegawaian. Soal THR, sepertinya tak pernah ada cerita ASN dapat THR molor, selalu sebelum Lebaran.
 Beda dengan buruh. Saya saja yang pernah menjadi buruh pernah ketar ketir apakah dapat THR atau tidak karena sudah mepet waktunya belum ada kabar baik. Pernah juga ketika THR di akhir bulan, hanya diberi THR dan gajinya dipending setelah Lebaran.
Fenomena yang agak berat bagi buruh ini selayaknya jadi perhatian pemerintah. Bagaimanapun, tanpa dunia usaha, kehidupan bernegara akan bermasalah karena pemerintah tak mungkin menyediakan semuanya untuk warga negaranya.
Bentuk perhatian pada buruh bukan hanya soal aturan, tapi juga pelaksanaan aturan tersebut. Sehingga, aturan yang baik tak diselewengkan di level lapangan untuk mencederai buruh. (*)