Sekarang saya mencoba untuk merenungkan. Jika kita kerja serampangan dan hasilnya tak maksimal sementara kita mendapatkan gaji dan upah yang maksimal, apakah itu benar?Â
Apakah pekerjaan yang tidak on the track itu bisa dikatakan makan sebagian gaji buta? Yeah, kita renungi lagi semuanya dengan baik di suasana yang hening ini.
Ternyata, perenungan itu akan membuat pertanyaan. Apakah kita layak disebut pemimpin di muka bumi? Jika menyapu saja tergesa-gesa, jika bekerja saja sesuka hatinya. Pertanyaan lagi, apakah semua itu tak akan dipertanggung jawabkan di waktunya nanti? Jawabannya tentu saja "iya'.
Misalnya ditanya di waktunya nanti. "Kenapa kamu menyapu seenak hatimu. Kenapa kamu melakukan tanpa keseriusan? Kenapa kamu kerja sesukamu, sementara hak kamu meminta semaksimalnya?"
Itu baru soal sapu dan kerja. Belum soal mendidik anak, membuka pintu, menghirup udara. Belum lagi ibadah mainstream seperti salat, puasa, zakat.Â
Maka perenungan itu penting. Sampai pada puncaknya, apakah hal-hal kecil yang kita lakukan dan masih bolong itu menumpuk seperti gunung? Apakah itu layak diganjar dengan surga?
Mungkin memang agak berat bagi saya pribadi untuk merenungi semuanya di masa Ramadan ini. Namun, ini adalah kesempatan tepat bagi kita merenung dan memaksimalkan usaha kita. Selayaknya manusia yang memang harus bertanggung jawab. Jika pun belum bisa maksimal, setidaknya sudah berusaha sedikit demi sedikit.
Itu harapan pribadi saya. Tak muluk-muluk. Hanya ingin merenung dan melakukan semuanya sebagusnya dan sewajarnya. Selamat Berpuasa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H