Menurut Hegel, kebenaran bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan berkembang melalui proses dialektika ini. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai spiral yang terus berputar, di mana setelah tercapai sintesis, hasilnya menjadi tesis baru yang kemudian menimbulkan antitesis baru, dan demikian seterusnya.
Siklus ini terus berlangsung, menciptakan pemahaman yang semakin kompleks dan mendalam. Sebagai contoh, tesisnya adalah bahwa semua manusia sama, sedangkan antitesisnya menyatakan bahwa semua manusia berbeda.Â
Sintesis dari kedua ide ini mungkin menjadi bahwa semua manusia pada dasarnya setara, tetapi memiliki keunikan individu. Sintesis ini kemudian menjadi tesis baru yang akan memunculkan antitesis dan sintesis berikutnya.
Metode dialektika Hegel ini berpengaruh luas dalam berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, sejarah, sosiologi, bahkan ilmu alam, dan sering digunakan untuk menganalisis perubahan sosial, perkembangan sejarah, serta evolusi ide.
Proses dialektika ini menggambarkan bagaimana sejarah, ide, dan realitas berkembang melalui pertentangan dan penyelesaian antara kekuatan yang berlawanan. Penyelesaian dari pertentangan itu akan menghasilkan kebaruan, dan perkembangan yang lebih maju.
Kisah tentang Dora dan Sembada dalam mitologi Aji Saka, memiliki struktur yang sama (Tesis, antitesis, sintesis). Jika kita perhatikan, mitologi tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:
- Tesis dan Antitesis Tesis adalah posisi pertama (perintah yang diterima Dora untuk mengambil pusaka), dan antitesis adalah oposisi yang muncul (perintah Sembada untuk tidak menyerahkan pusaka kecuali diperintahkan langsung oleh Aji Saka). Kedua karakter ini mewakili dua posisi atau prinsip yang bertentangan tetapi setara.
- Konflik antara tesis dan antitesis dapat diibaratkan sebagai pertarungan antara Dora dan Sembada. Keduanya saling bertentangan dalam menjalankan amanat yang mereka terima, dan pertarungan ini melambangkan bagaimana konflik muncul dari perbedaan posisi atau gagasan yang mendasar.
- Sintesis dalam Hanacaraka diwujudkan dalam kematian Dora dan Sembada. Meskipun secara literal mereka berdua mati, kematian mereka menyimbolkan penyatuan dan pencapaian harmoni setelah pertentangan. Dalam konteks Jawa, ini bukan hanya akhir yang tragis, tetapi juga refleksi dari keseimbangan kosmis yang dicapai melalui pengorbanan mereka.
Baik dalam dialektika Hegelian maupun dalam filosofi yang terkandung dalam aksara Hanacaraka, ada gagasan bahwa konflik dan pertentangan adalah bagian alami dari perkembangan kehidupan dan pemikiran.Â
Dalam pandangan Hegel, sejarah manusia dan ide-ide berkembang melalui proses konflik dan resolusi. Demikian pula, dalam mitologi Hanacaraka, konflik antara Dora dan Sembada, meskipun berakhir dengan kematian, melambangkan pencapaian keseimbangan dan harmoni.
Dalam kedua tradisi ini, terdapat nilai mendalam yang mengajarkan bahwa kemajuan, baik dalam pemikiran maupun dalam kehidupan, sering kali terjadi melalui pertentangan antara gagasan-gagasan yang berbeda, dan hasil akhirnya adalah penyatuan atau harmoni yang lebih tinggi.
Filosofi Hegel dan Hanacaraka dalam Pemeriksaan Pajak