Mohon tunggu...
Ilham Amanah R.K.
Ilham Amanah R.K. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi

NIM 55523110011 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Besar 1: Dialektika Hermeneutis Hanacaraka untuk Prosedur Audit Pajak

21 Oktober 2024   02:50 Diperbarui: 21 Oktober 2024   02:50 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cikal Bakal

Aksara Brahmi merupakan salah satu sistem tulisan paling kuno yang dikenal di dunia dan memiliki peran penting dalam sejarah peradaban Asia. Aksara ini mulai berkembang di India sekitar abad ke-5 SM, dan menjadi fondasi dari banyak aksara di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Sebagai aksara yang pertama kali digunakan secara luas untuk menuliskan bahasa-bahasa Indo-Arya, aksara Brahmi menjadi alat penting dalam penyebaran ajaran agama, budaya, dan administrasi pemerintahan di berbagai kerajaan kuno.

Salah satu bukti sejarah paling awal dan terkenal yang menggunakan aksara Brahmi adalah Maklumat-maklumat Asoka. Maklumat ini terdiri dari serangkaian inskripsi yang dipahat di batu, menggambarkan kebijakan moral dan sosial yang diterapkan oleh Raja Asoka dari Dinasti Maurya, yang memerintah sekitar tahun 268-232 SM.

Inskripsi tersebut ditemukan di berbagai wilayah di India tengah-utara, mencerminkan upaya Raja Asoka dalam menyebarkan ajaran Buddha serta menjaga ketertiban sosial dan keadilan di wilayah kerajaannya.

Di wilayah selatan India, aksara Brahmi mengalami perkembangan menjadi aksara Pallava (atau Pallawa), yang mendapatkan namanya dari Dinasti Pallava, sebuah dinasti besar yang berkuasa di wilayah tersebut dari abad ke-4 hingga abad ke-9 Masehi. Dinasti ini dikenal sebagai salah satu kekuatan politik, budaya, dan agama yang penting di India Selatan, dan aksara Pallava menjadi salah satu warisan penting mereka.

Aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Sanskrit (Sanskerta), bahasa yang memainkan peranan sentral dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha di Asia. Dalam periode ini, aksara Pallava tidak hanya digunakan untuk kegiatan administratif dan ritual keagamaan, tetapi juga menjadi alat penting dalam penyebaran pengetahuan dan nilai-nilai agama ke berbagai wilayah di luar India, termasuk Asia Tenggara dan Nusantara.

Melalui interaksi perdagangan dan misi keagamaan, para pedagang dan pendeta dari India membawa aksara Pallava ke wilayah-wilayah lain di Asia, termasuk ke kepulauan Nusantara. 

Proses ini menandai fase penting dalam perkembangan budaya di Asia Tenggara, di mana pengaruh India menjadi sangat kuat, terutama dalam konteks agama Hindu-Buddha. Aksara Pallava menjadi medium utama dalam penyebaran ide-ide spiritual, politik, dan sosial dari India ke Asia Tenggara, dan secara bertahap diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lokal untuk menuliskan dokumen-dokumen penting dan prasasti resmi mereka.

Salah satu bukti paling awal dari keberadaan aksara Pallawa di Nusantara adalah Prasasti Mulawarman yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi ini ditulis dalam bahasa Sanskrit menggunakan aksara Pallava.

Prasasti ini mencatat persembahan Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai kepada para Brahmana, yang menunjukkan bahwa pada masa itu, sudah ada interaksi kuat antara kerajaan lokal dan kebudayaan India. Penggunaan aksara Pallawa pada prasasti ini juga menandakan bahwa bahasa Sanskrit telah menjadi bahasa istana dan ritual keagamaan di Kerajaan Kutai.

Selain di Kalimantan, aksara Pallava juga ditemukan di Jawa Barat melalui Prasasti Tarumanagara, yang merupakan bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Prasasti ini juga ditulis dalam bahasa Sanskrit dengan aksara Pallava, dan mencatat kegiatan Raja Purnawarman, penguasa Tarumanagara, termasuk proyek pembangunan irigasi dan perbaikan sungai.

Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi. Aksara Kawi banyak digunakan dalam prasasti-prasasti kerajaan kuno di Jawa seperti Kerajaan Mataram Kuno, yang memerintah sekitar abad ke-8 hingga ke-10. Salah satu prasasti yang terkenal adalah Prasasti Canggal (732 Masehi), yang ditulis dalam aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta, menandai keberadaan aksara India di Jawa.

Seiring berjalannya waktu, aksara Kawi terus berevolusi menjadi aksara yang lebih sesuai dengan fonologi bahasa Jawa. Pada abad ke-14 hingga ke-15, aksara Kawi mulai berubah menjadi aksara Hanacaraka yang dikenal saat ini. Aksara ini semakin disederhanakan dan digunakan secara luas oleh masyarakat Jawa untuk menulis berbagai teks, termasuk teks keagamaan, kesusastraan, dan sejarah.

Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, aksara Hanacaraka digunakan dalam berbagai teks kesusastraan, naskah keagamaan, serta dokumen resmi kerajaan. Penggunaan aksara ini tercatat dalam karya-karya besar seperti Serat Ramayana dan Serat Pararaton.

gambar 2
gambar 2

Mitologi Aji Saka, Asal Muasal Aksara Hanacaraka

Selain sejarah linguistiknya, aksara Hanacaraka juga memiliki dimensi filosofis dan simbolik yang kuat. Dalam legenda tanah Jawa, aksara hanacaraka terkait erat dengan kisah Aji Saka.

Aji Saka adalah seorang tokoh legendaris, seorang petualang yang datang ke tanah jawa. Menurut legenda, Aji Saka pertama kali tiba di Jawa ketika pulau ini masih berada di bawah kekuasaan raja zalim bernama Prabu Dewata Cengkar, seorang raja kanibal yang memerintah dengan kekejaman di Medang Kamulan (sebuah kerajaan kuno yang disebutkan dalam berbagai sumber Jawa). 

Prabu Dewata Cengkar sering meminta korban manusia untuk dimakan, sehingga rakyat hidup dalam ketakutan.

Aji Saka, yang dianggap sebagai sosok cerdas dan berani, datang ke Jawa untuk menghadapi Dewata Cengkar dan mengakhiri kekejaman sang raja. Dalam beberapa versi cerita, Aji Saka menggunakan kecerdikannya untuk menipu raja, meminta sebidang tanah seluas ikat pinggangnya. 

Namun, ketika ikat pinggang tersebut direntangkan, tanah yang diminta ternyata mencakup seluruh wilayah kerajaan, memaksa Dewata Cengkar terpojok.

Pada akhirnya, Dewata Cengkar berhasil dikalahkan oleh Aji Saka dan dijatuhkan ke laut selatan, mengakhiri kekuasaannya yang tiran. Setelah kemenangan ini, Aji Saka diangkat sebagai raja baru di Medang Kamulan, membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyat.

Bagian yang paling terkenal dari mitologi Aji Saka adalah kisah tentang dua pengikut setianya, Dora dan Sembada. Sebelum pergi ke Medang Kamulan untuk melawan Dewata Cengkar, Aji Saka memberikan sebuah pusaka keramat kepada Sembada dan memerintahkannya untuk menjaga pusaka tersebut dengan nyawanya. Ia menegaskan bahwa Sembada tidak boleh memberikan pusaka itu kepada siapa pun, termasuk Aji Saka sendiri, kecuali jika Aji Saka sendiri yang memintanya secara langsung.

Setelah Aji Saka berhasil menjadi raja, ia mengirim Dora untuk mengambil pusaka yang dititipkan pada Sembada. Namun, ketika Dora sampai di tempat Sembada dan meminta pusaka tersebut, Sembada menolak karena ia merasa belum menerima perintah langsung dari Aji Saka. Terjadilah perdebatan sengit antara keduanya. Karena sama-sama setia pada perintah tuannya, Dora dan Sembada akhirnya terlibat dalam pertempuran yang tragis, di mana keduanya tewas.

Pertarungan inilah yang diabadikan menjadi urutan dalam aksara Hanacaraka, yang berbunyi:

Ha Na Ca Ra Ka               : Ada dua utusan. 

Da Ta Sa Wa La                : Mereka bertarung. 

Pa Dha Ja Ya Nya            : Keduanya sama kuat. 

Ma Ga Ba Tha Nga          : Keduanya mati bersama.

Makna Filosofis Hanacaraka

Mitologi Aji Saka mengandung berbagai pelajaran moral dan filosofis yang mendalam dan relevan bagi kehidupan masyarakat Jawa.

Pertama, kisah ini menekankan pentingnya kesetiaan terhadap tugas dan amanat. Dora dan Sembada menerima perintah dari Aji Saka untuk menjaga pusaka yang diberikan kepada mereka, dan meskipun akhirnya terjadi kesalahpahaman, keduanya tetap teguh menjalankan amanat tersebut.

Hal ini menggambarkan betapa pentingnya komitmen terhadap tanggung jawab, meski menghadapi tantangan yang sulit. Dalam konteks kehidupan modern, pelajaran ini mengajarkan kita untuk memegang teguh janji dan tanggung jawab, baik dalam hubungan pribadi maupun profesional, serta bagaimana kesetiaan dan integritas dapat membentuk fondasi kepercayaan dalam masyarakat.

Kedua, legenda ini juga menyoroti nilai kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai elemen penting dalam menyelesaikan konflik. Aji Saka tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik untuk mengalahkan Dewata Cengkar, raja zalim yang suka memakan manusia, tetapi menggunakan strategi dan kecerdasan untuk memenangkan pertarungan. Alih-alih menggunakan cara kekerasan, Aji Saka menyusun siasat dengan bijaksana untuk mengalahkan musuhnya.

Ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi masalah yang rumit, kecerdasan dan kebijaksanaan sering kali lebih efektif daripada kekerasan. Bagi masyarakat, pelajaran ini mendorong untuk berpikir kreatif dan bijak dalam menyelesaikan konflik sehari-hari, baik dalam skala individu maupun sosial, dengan menekankan bahwa kemenangan yang diperoleh melalui kebijaksanaan jauh lebih berarti daripada kemenangan yang dicapai dengan kekerasan.

Ketiga, mitologi ini mengajarkan pentingnya konsep keseimbangan dan kesetaraan dalam kehidupan. Pertarungan antara Dora dan Sembada, yang akhirnya mengorbankan nyawa mereka berdua, merupakan simbol dari dua kekuatan yang sama kuat namun berlawanan. 

Kematian keduanya dapat diinterpretasikan sebagai lambang dari keseimbangan kosmis, di mana dua kekuatan yang berlawanan harus seimbang untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan.

Dalam konteks filsafat Jawa, keseimbangan antara baik dan buruk, terang dan gelap, selalu menjadi kunci dalam menjaga keharmonisan alam semesta. Ajaran ini relevan dengan pandangan hidup yang menekankan perlunya menjaga keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, baik dalam hubungan antarmanusia, lingkungan, maupun diri sendiri. 

Harmoni ini bukan hanya persoalan luar, tetapi juga melibatkan keseimbangan dalam batin, di mana manusia harus mampu mengelola emosi, pikiran, dan tindakan agar selalu berada dalam keselarasan dengan alam dan sesamanya.

Melalui ketiga pelajaran ini; kesetiaan, kebijaksanaan, dan keseimbangan, mitologi Aji Saka menawarkan wawasan yang kaya tentang cara hidup yang seimbang dan bermoral. Mitos ini tidak hanya berfungsi sebagai cerita rakyat, tetapi juga sebagai cermin dari nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan kepada generasi berikutnya, menekankan pentingnya tanggung jawab, kecerdasan dalam menghadapi tantangan, dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan.

Dialektika Hegelian dalam Hanacaraka

Dialektika Hegelian adalah metode berpikir yang dirumuskan oleh filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang melihat dunia sebagai proses dinamis yang terus berkembang melalui konflik dan penyatuan ide-ide yang saling bertentangan.

Menurut Hegel, kebenaran bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan berkembang melalui proses dialektika ini. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai spiral yang terus berputar, di mana setelah tercapai sintesis, hasilnya menjadi tesis baru yang kemudian menimbulkan antitesis baru, dan demikian seterusnya.

Siklus ini terus berlangsung, menciptakan pemahaman yang semakin kompleks dan mendalam. Sebagai contoh, tesisnya adalah bahwa semua manusia sama, sedangkan antitesisnya menyatakan bahwa semua manusia berbeda. 

Sintesis dari kedua ide ini mungkin menjadi bahwa semua manusia pada dasarnya setara, tetapi memiliki keunikan individu. Sintesis ini kemudian menjadi tesis baru yang akan memunculkan antitesis dan sintesis berikutnya.

Metode dialektika Hegel ini berpengaruh luas dalam berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, sejarah, sosiologi, bahkan ilmu alam, dan sering digunakan untuk menganalisis perubahan sosial, perkembangan sejarah, serta evolusi ide.

Sumber: dok pribadi prof Apollo
Sumber: dok pribadi prof Apollo

Proses dialektika ini menggambarkan bagaimana sejarah, ide, dan realitas berkembang melalui pertentangan dan penyelesaian antara kekuatan yang berlawanan. Penyelesaian dari pertentangan itu akan menghasilkan kebaruan, dan perkembangan yang lebih maju.

Kisah tentang Dora dan Sembada dalam mitologi Aji Saka, memiliki struktur yang sama (Tesis, antitesis, sintesis). Jika kita perhatikan, mitologi tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

  • Tesis dan Antitesis Tesis adalah posisi pertama (perintah yang diterima Dora untuk mengambil pusaka), dan antitesis adalah oposisi yang muncul (perintah Sembada untuk tidak menyerahkan pusaka kecuali diperintahkan langsung oleh Aji Saka). Kedua karakter ini mewakili dua posisi atau prinsip yang bertentangan tetapi setara.

  • Konflik antara tesis dan antitesis dapat diibaratkan sebagai pertarungan antara Dora dan Sembada. Keduanya saling bertentangan dalam menjalankan amanat yang mereka terima, dan pertarungan ini melambangkan bagaimana konflik muncul dari perbedaan posisi atau gagasan yang mendasar.

  • Sintesis dalam Hanacaraka diwujudkan dalam kematian Dora dan Sembada. Meskipun secara literal mereka berdua mati, kematian mereka menyimbolkan penyatuan dan pencapaian harmoni setelah pertentangan. Dalam konteks Jawa, ini bukan hanya akhir yang tragis, tetapi juga refleksi dari keseimbangan kosmis yang dicapai melalui pengorbanan mereka.

Baik dalam dialektika Hegelian maupun dalam filosofi yang terkandung dalam aksara Hanacaraka, ada gagasan bahwa konflik dan pertentangan adalah bagian alami dari perkembangan kehidupan dan pemikiran. 

Dalam pandangan Hegel, sejarah manusia dan ide-ide berkembang melalui proses konflik dan resolusi. Demikian pula, dalam mitologi Hanacaraka, konflik antara Dora dan Sembada, meskipun berakhir dengan kematian, melambangkan pencapaian keseimbangan dan harmoni.

Dalam kedua tradisi ini, terdapat nilai mendalam yang mengajarkan bahwa kemajuan, baik dalam pemikiran maupun dalam kehidupan, sering kali terjadi melalui pertentangan antara gagasan-gagasan yang berbeda, dan hasil akhirnya adalah penyatuan atau harmoni yang lebih tinggi.

Filosofi Hegel dan Hanacaraka dalam Pemeriksaan Pajak

Sumber: dok pribadi prof Apollo
Sumber: dok pribadi prof Apollo

Menghubungkan konsep tesis, antitesis, dan sintesis dari dialektika Hegelian ke dalam framework pelaporan keuangan bisa memberikan pandangan pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana konflik, dialog, dan resolusi dapat terjadi dalam interaksi antara auditee dan auditor.

  • Tesis: Auditee menyusun laporan keuangan berdasarkan standar-standar yang lazim digunakan, seperti IFRS, SAK, SAK ETAP, SAK Syariah, dan standar lainnya.
  • Antitesis: Terdapat tiga antitesis dalam penyusunan laporan keuangan, yaitu Komite Audit, Internal Audit, dan Eksternal Audit. 

  • Ketiga unsur antitesis ini merupakan perwujudan dari three lines of defense, sebagai bentuk pengawasan dan pertanggungjawaban manajemen kepada stakeholder. Terjadi pengujian dan dialektika terhadap tesis pada proses ini. Akan ada penyesuaian, revisi, investigasi, hingga pada akhirnya pemberian opini terhadap kewajaran laporan keuangan.

  • Sintesis: Sintesis muncul dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit, di dalam laporan keuangan audit ini terdapat hal-hal material yang menjadi sumber konflik pada saat dialektika antara auditee dan auditor, serta bagaimana hal tersebut diselesaikan sehingga dapat menjadi sintesis yang dapat memberikan manfaat kepada stakeholder dan pemakai informasi.

Pun dalam proses pemeriksaan pajak. Dialektika hegel dan filosifi hanacaraka dapat memberikan pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana konflik, dialog, dan resolusi dapat terjadi dalam interaksi antara wajib pajak dan pemeriksa pajak. Dalam konteks tersebut, proses pemeriksaan pajak dapat dilihat sebagai sebuah dialektika, di mana ada perbedaan pendapat atau posisi antara kedua pihak yang akhirnya harus diselesaikan melalui suatu bentuk sintesis atau kesepakatan.

Tesis: Posisi Wajib Pajak

Dalam proses pemeriksaan pajak, tesis mewakili posisi awal wajib pajak terkait kewajiban perpajakannya, yaitu dalam bentuk Surat Pemberitahuan Terutang (SPT), baik itu SPT Tahunan ataupun SPT Masa. SPT tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan yang telah dibuat sebelumnya.

Wajib pajak, dengan cara self assessment, menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Pada tahap ini, berdasarkan pasal 12 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa:

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak dengan benar adalah tanggung jawab Wajib Pajak, sehingga, SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak merupakan pernyataan tentang kebenaran perhitungan dan pembayaran tersebut.

Antitesis: Pemeriksaan oleh Pemeriksa pajak

Antitesis muncul ketika pemeriksa pajak melakukan pengujian atas SPT yang disampaikan oleh wajib pajak. Sebagai mekanisme check and balance atas SPT yang telah dilaporkan, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pemeriksaan pajak.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2013 s.t.d.d PMK 184 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, disebutkan bahwa tujuan dari pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain. Pemeriksaan tersebut dapat berupa pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan lapangan, dan dapat dilakukan atas satu jenis pajak (single tax) maupun seluruh jenis pajak (all taxes).

Alur pemeriksaan pajak dimulai dengan penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) yang disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Panggilan dalam Rangka Pertemuan Sehubungan dengan Pemeriksaan Lapangan.

Di dalam pertemuan tersebut diberikan informasi terkait alasan pemeriksaan, hak dan kewajiban dari wajib pajak, serta tahapan dalam seluruh proses pemeriksaan. Setelah itu, dilakukan proses pemberian keterangan oleh Wajib Pajak/Wakil Wajib Pajak terkait dengan proses bisnis secara umum, dan hal-hal khusus terkait operasi perusahaan yang ingin diketahui oleh pemeriksa.

Berdasarkan pemberian keterangan dalam pertemuan dengan Wajib Pajak, pemeriksa kemudian akan membuat surat permintaan peminjaman dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dalam hal pemeriksaan merupakan pemeriksaan lapangan, pemeriksa akan menjadwalkan pemeriksaan yang dilakukan langsung di tempat kegiatan usaha dari Wajib Pajak.

Setelah seluruh kegiatan pemeriksaan dan pengujian dilakukan, pemeriksa akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Dalam SPHP ini tertuang perbedaan nilai SPT Wajib Pajak dan nilai yang seharusnya dilaporkan menurut pemeriksa.

Antitesis dapat dilihat dari SPHP tersebut, yang merupakan posisi yang diambil oleh pemeriksa pajak atas SPT yang dilaporkan. Ada cukup banyak alasan mengapa perbedaan-perbedaan dapat terjadi. Namun pada prinsipnya perbedaan tersebut terjadi karena:

  • Perbedaan penafsiran dan penerapan peraturan;
  • Perbedaan penggunaan standar antara akuntansi dan fiskal;
  • Terdapat data atau informasi yang belum diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Masa / Tahunan;

Sintesis: Dialog dan Penyelesaian Sengketa

Atas antitesis tersebut, Wajib Pajak diberikan kesempatan 7 (tujuh) hari kerja untuk memberikan tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh pemeriksa. Setelah jangka waktu pemberian tanggapan habis, pemeriksa akan mengirimkan undangan pembahasan akhir kepada Wajib Pajak. Dalam pembahasan akhir ini akan dilakukan diskusi atas seluruh hasil pemeriksaan, baik dari sisi pemeriksa, maupun sisi wajib pajak.

Konflik pada saat pembahasan akhir merupakan dinamika atas tesis dan antitesis. Ada jangka waktu dua bulan dalam pembahasan akhir, agar keduanya mencapai kesepakatan, atau sintesis. Wajib Pajak juga bisa menggunakan proses quality assurance, untuk memastikan bahwa pemeriksa telah menggunakan aturan yang tepat.

Sintesis tidak selamanya ditemukan dalam pembahasan akhir. Terkadang terjadi kebuntuan di antara kedua pihak, sehingga Wajib Pajak mengajukan upaya hukum, agar dapat memperoleh kepastian. Baik itu dengan mengajukan keberatan, banding, ataupun peninjauan kembali (PK).

Pada umumnya sintesis dalam pembahasan akhir pemeriksaan pajak dilakukan dengan cara:

  • Pembuktian data dan informasi: Wajib Pajak memberikan data dan informasi atas hal-hal yang sebelumnya dijadikan temuan oleh Pemeriksa;
  • Dialog terkait dasar regulasi yang digunakan: Wajib Pajak dan pemeriksa berdiskusi terkait transaksi-transaksi yang dipermasalahkan, dengan menerapkan regulasi yang paling sesuai.

  • Pernyataan formal: Setelah dialog dan diskusi dilakukan, pemeriksa membuat pernyataan formal atas hal-hal yang telah disepakati dan belum disepakati oleh kedua belah pihak, dalam bentuk Risalah Pembahasan dan Ikhtisar Hasil Pembahasan Akhir.

Penyatuan dari dua posisi yang berbeda (tesis dan antitesis) menjadi sebuah kesepakatan baru atau keputusan yang lebih tinggi. Pada akhirnya, pemeriksaan pajak bukan hanya soal mencari kesalahan, tetapi juga tentang menemukan harmoni dalam penerapan peraturan perpajakan berdasarkan fakta dan hukum yang ada.

Kesimpulan

Dalam perspektif dialektika Hegelian, konflik antara tesis dan antitesis diperlukan untuk memunculkan sintesis yang lebih tinggi. Begitu pula dalam pemeriksaan pajak, perbedaan pandangan atau sengketa antara wajib pajak dan pemeriksa pajak mengenai besaran pajak yang harus dibayar atau kewajiban-kewajiban lainnya bukanlah akhir dari proses. 

Justru, konflik ini menciptakan ruang untuk diskusi yang lebih mendalam, evaluasi terhadap bukti-bukti yang ada, serta pemahaman yang lebih jelas terhadap peraturan perpajakan.

Proses pemeriksaan pajak dapat dipahami secara lebih mendalam melalui kaca mata filosofi Hanacaraka yang kaya akan nilai-nilai budaya Jawa, dipadukan dengan dialektika Hegelian. Konflik yang terjadi antara wajib pajak (tesis) dan pemeriksa pajak (antitesis), menciptakan dinamika yang menyerupai dialektika Hegelian.

Konflik tersebut bukanlah sesuatu yang dipandang negatif, melainkan bagian dari proses alami untuk mencapai sebuah hasil pemeriksaan (sintesis), yaitu kesepakatan yang adil antara kedua belah pihak. 

Dialektika tersebut mencerminkan sifat dialogis dari pemeriksaan pajak, di mana dialog dan negosiasi berperan penting dalam menghasilkan solusi yang tidak hanya memuaskan negara sebagai otoritas pajak, tetapi juga menjaga keadilan bagi wajib pajak.

Referensi

  • Fontein, J. (2010). The Sculpture of Indonesia. Washington: National Gallery of Art.
  • Modul TB 1 : Hakekat Aksara Jawa, oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.
  • Riboet, E. (2016). Aksara Hanacaraka dan Fungsinya dalam Kebudayaan Jawa. Jurnal Sejarah dan Budaya, 5(3), 45-56.
  • Subalidinata, N. (2010). Aksara dan Budaya Tulisan di Nusantara. Penerbit Universitas Indonesia.
  • Sukarto, B. (2014). Pengaruh Aksara Pallawa terhadap Aksara Jawa. Jurnal Filologi, 8(2), 20-33.
  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  • PMK Nomor 184 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
  • PER-23/PJ/2013 Tentang Standar Pemeriksaan
  • SE-65/PJ/2013 Tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan
  • gambar 1: https://malesung.wordpress.com/sejarah-perkembangan-huruf/
  • gambar 2: https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Pallawa#/media/Berkas:Palllawa1.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun