Pernahkah Anda bertanya-tanya apakah hanya bekerja sesuai deskripsi tugas dapat merugikan karier Anda? Fenomena "quiet quitting" --- di mana karyawan hanya menjalankan tugas yang diminta tanpa mengambil inisiatif lebih --- semakin menjadi perbincangan hangat. Bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk menjaga keseimbangan kerja dan hidup, menghindari kelelahan mental. Namun, bagi yang lain, pendekatan ini bisa menjadi penghalang besar bagi perkembangan karier.
Meski niat di balik quiet quitting bisa dimengerti, dampaknya terhadap kemajuan karier jangka panjang sering kali diabaikan. Artikel ini akan mengulas asal-usul istilah quiet quitting, mengapa pendekatan ini dapat merugikan Anda, tantangan yang akan dihadapi di masa depan, serta pentingnya fokus pada tujuan karier agar tetap relevan dan kompetitif.
Quiet Quitting: Fenomena Viral dengan Dampak Nyata
Istilah "quiet quitting" pertama kali menjadi populer melalui media sosial, terutama TikTok, pada tahun 2022. Konsep ini mencerminkan keinginan generasi pekerja untuk menolak budaya kerja berlebihan (hustle culture). Dalam banyak kasus, fenomena ini adalah respons terhadap tekanan yang datang dari ekspektasi tinggi tanpa imbalan yang memadai.
Namun, ide ini bukan hal baru. Dalam literatur manajemen, istilah serupa seperti "disengaged employees" sudah lama digunakan untuk menggambarkan pekerja yang memenuhi minimum standar tanpa melibatkan diri secara emosional dalam pekerjaannya. Quiet quitting hanyalah wujud baru dari fenomena lama, diperkuat oleh ketidakpuasan modern terhadap keseimbangan kerja-hidup.
Menurut laporan Gallup 2022, hanya 21% karyawan di seluruh dunia yang merasa "terlibat" dalam pekerjaan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pekerja berada pada spektrum disengaged, di mana quiet quitting menjadi salah satu manifestasinya.
Biaya Tersembunyi dari Quiet Quitting
1. Kesempatan Emas yang Terbuang