3. Tekanan dari Media Sosial untuk Tampil "Kuat" dan "Benar"
Dalam Social Media + Society, dijelaskan bahwa tekanan sosial di media sosial membuat beberapa orang merasa harus mempertahankan posisi atau membuktikan "kebenaran" mereka di mata publik. Pada titik ini, media sosial memfasilitasi individu untuk berperan sebagai hakim bagi diri mereka sendiri, tanpa memperhatikan norma etika dan hukum (Stark & Crawford, 2020).
Dalam kasus ini, pelaku mungkin merasa perlu menunjukkan "kekuatan" dan "kendali" di depan publik sebagai cara untuk menjustifikasi tindakannya.
Dinamika Relasi dalam Rumah Tangga yang Memicu Konflik
1. Konflik Rumah Tangga yang Terpendam dan Tak Terselesaikan
Menurut Journal of Marriage and Family Therapy, konflik yang tidak terselesaikan dalam hubungan rumah tangga bisa menimbulkan akumulasi emosi negatif. Ketika konflik dibiarkan terus-menerus tanpa penyelesaian, ini bisa menimbulkan "ledakan" emosi di satu titik, terutama dalam situasi yang penuh tekanan (Hall & Fincham, 2019).
Pelaku dalam kasus ini mungkin merasa tidak memiliki jalan lain untuk mengatasi konflik yang menumpuk, sehingga mengambil tindakan nekat sebagai "solusi terakhir" yang justru berakibat fatal.
2. Budaya Patriarki dan Kontrol Berlebihan
Budaya patriarki yang kuat dalam suatu komunitas atau keluarga, seperti yang dibahas dalam Gender, Work & Organization, sering kali mendorong pandangan bahwa pria memiliki kontrol penuh atas istri atau keluarganya (Kabeer, 2019). Dalam budaya ini, seseorang mungkin merasa terancam jika posisi atau otoritasnya dirasa terancam, yang bisa memicu kekerasan sebagai bentuk pembuktian diri.
3. Ketidakmampuan Mengelola Konflik secara Sehat