Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Seseorang Bisa Tega Melakukan Kekerasan Ekstrem di Media Sosial? Menyingkap Latar Belakang Kasus Kekerasan Live di Facebook

4 November 2024   20:20 Diperbarui: 4 November 2024   22:00 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

3. Tekanan dari Media Sosial untuk Tampil "Kuat" dan "Benar"

Dalam Social Media + Society, dijelaskan bahwa tekanan sosial di media sosial membuat beberapa orang merasa harus mempertahankan posisi atau membuktikan "kebenaran" mereka di mata publik. Pada titik ini, media sosial memfasilitasi individu untuk berperan sebagai hakim bagi diri mereka sendiri, tanpa memperhatikan norma etika dan hukum (Stark & Crawford, 2020).

Dalam kasus ini, pelaku mungkin merasa perlu menunjukkan "kekuatan" dan "kendali" di depan publik sebagai cara untuk menjustifikasi tindakannya.

Dinamika Relasi dalam Rumah Tangga yang Memicu Konflik

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

1. Konflik Rumah Tangga yang Terpendam dan Tak Terselesaikan

Menurut Journal of Marriage and Family Therapy, konflik yang tidak terselesaikan dalam hubungan rumah tangga bisa menimbulkan akumulasi emosi negatif. Ketika konflik dibiarkan terus-menerus tanpa penyelesaian, ini bisa menimbulkan "ledakan" emosi di satu titik, terutama dalam situasi yang penuh tekanan (Hall & Fincham, 2019).

Pelaku dalam kasus ini mungkin merasa tidak memiliki jalan lain untuk mengatasi konflik yang menumpuk, sehingga mengambil tindakan nekat sebagai "solusi terakhir" yang justru berakibat fatal.

2. Budaya Patriarki dan Kontrol Berlebihan

Budaya patriarki yang kuat dalam suatu komunitas atau keluarga, seperti yang dibahas dalam Gender, Work & Organization, sering kali mendorong pandangan bahwa pria memiliki kontrol penuh atas istri atau keluarganya (Kabeer, 2019). Dalam budaya ini, seseorang mungkin merasa terancam jika posisi atau otoritasnya dirasa terancam, yang bisa memicu kekerasan sebagai bentuk pembuktian diri.

3. Ketidakmampuan Mengelola Konflik secara Sehat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun