Jakarta, 16 Mei 2024 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia membahas RUU Penyiaran, sebuah langkah penting yang bertujuan untuk memperbarui peraturan penyiaran saat ini agar lebih sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat saat ini. RUU tersebut diharapkan dapat mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi industri penyiaran di era digital.
RUU Penyiaran yang baru bertujuan untuk memberikan kerangka peraturan yang lebih fleksibel dan lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan teknologi, termasuk integrasi antara platform penyiaran tradisional dan digital.
Ketua Komite I DPR Meutya Hafid mengatakan RUU ini penting untuk memastikan industri penyiaran dapat berkembang secara sehat dan kompetitif.
“Industri penyiaran harus mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan pola konsumsi masyarakat. RUU penyiaran ini kami rancang untuk menciptakan ekosistem yang lebih dinamis dan inovatif, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat,” kata Meutya Hafid.
Beberapa hal penting dalam RUU ini antara lain:
1. Regulasi konten digital:
Menyelaraskan regulasi penyiaran tradisional dengan regulasi tersebut. Platform digital, termasuk layanan streaming dan media sosial, untuk memastikan kesetaraan standar konten dan perlindungan konsumen
2. Perlindungan hak cipta:
Peningkatan peraturan hak cipta untuk mencegah pembajakan dan melindungi karya kreatif dari eksploitasi yang tidak sah.
3. Peningkatan kualitas siaran:
Mendorong peningkatan kualitas isi siaran dengan memperkenalkan standar baru yang harus dipatuhi oleh penyedia layanan penyiaran.
4. Persaingan sehat dalam industri penyiaran:
Mengatur mekanisme untuk mencegah monopoli dan praktik bisnis tidak sehat dalam industri penyiaran, sekaligus memberikan ruang bagi pemain baru untuk bergabung.
RUU Penyiaran juga mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk asosiasi penyiaran dan pakar media. Namun, beberapa pihak mengkritik beberapa aspek dari RUU tersebut.
Beberapa pihak menilai beberapa ketentuan dalam RUU tersebut masih perlu diperjelas agar tidak menimbulkan banyak penafsiran yang dapat merugikan industri.
Selain itu, para pendukung kebebasan pers menekankan pentingnya melindungi independensi organisasi penyiaran dari campur tangan pemerintah yang berlebihan. Mereka memperingatkan bahwa peraturan yang terlalu ketat dapat mengancam kebebasan pers dan keberagaman informasi.
Menanggapi kritik tersebut, Meutya Hafid meyakinkan DPR akan membuka ruang dialog yang luas dengan berbagai pemangku kepentingan.
“Kami akan terus mendengarkan masukan dari berbagai pihak dan berupaya memastikan peraturan ini dapat diterima secara luas dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Pembahasan RUU Penyiaran diperkirakan akan terus berlanjut dalam beberapa bulan mendatang, dengan target pengesahan pada akhir tahun 2024. Semua pihak berharap RUU ini dapat menjadi landasan hukum yang kokoh bagi perkembangan industri penyiaran Indonesia ke depan.
RUU ini merupakan inisiatif DPR yang diharapkan menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dewan Pers menilai sejumlah pasal dalam RUU bertentangan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ninik Rahayu, saat jumpa pers di kantor Dewan Pers Jakarta, mengatakan: “Kami menghormati rancangan perubahan UU Penyiaran, namun kami menduga UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidak dimasukkan untuk mempertimbangkan RUU Penyiaran dan Televisi".Selasa, 14 Mei 2024, kutipan dari dewapers.or.id
Topik yang menjadi perhatian Dewan Pers adalah sebagai berikut:
1. Dalam RUU Penyiaran terdapat upaya untuk membedakan produk Pers dengan media massa konvensional dan produk sejenis. Produk dari media massa tradisional. Sarana penggunaan frekuensi telekomunikasi.
Pasal 1 UU Pers mengatur tentang penyebarluasan informasi dari kegiatan pers yang dilakukan dalam bentuk surat kabar cetak, surat kabar elektronik, dan seluruh saluran yang tersedia.
Di sini, jelas tidak ada pembedaan antara produk jurnalistik platform satu dengan platform lainnya.
Selain itu, para pendukung kebebasan pers menekankan pentingnya melindungi independensi lembaga penyiaran dari campur tangan pemerintah yang berlebihan.
Mereka memperingatkan bahwa peraturan yang terlalu ketat dapat mengancam kebebasan pers dan keberagaman informasi.
Penggiat kebebasan pers Ferry Kurniawan mengatakan: “RUU ini harus dirancang dengan keseimbangan yang tepat antara regulasi dan kebebasan.
Jangan biarkan upaya regulasi berakhir dengan membatasi kebebasan berpendapat dan akses luas terhadap informasi.
Dari sudut pandang ekonomi, banyak ekonom yang melihat potensi RUU penyiaran ini dalam menciptakan peluang bisnis baru di sektor media dan teknologi.
“Dengan peraturan yang tepat, kita dapat melihat peningkatan investasi di sektor penyiaran dan konten digital, yang pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong inovasi”.
Selain jurnalisme investigatif, ada 10 jenis program dan konten siaran yang juga dilarang karena dianggap tidak mematuhi aturan Standar Isi Siaran (SIS).
Di antaranya larangan menyiarkan konten yang mengandung unsur mistisisme, penyembuhan supranatural, serta manipulasi informasi dan hiburan negatif melalui lembaga penyiaran atau platform digital.
Apakah RUU Penyiaran Ini Mengancam Kebebasan Pers di Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H