Mohon tunggu...
Roman Krama Wijaya
Roman Krama Wijaya Mohon Tunggu... kuli panggul -

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Libur Kecil Bersama Aghung Nini

13 September 2016   05:23 Diperbarui: 13 September 2016   06:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aghung Nini, ibu, tante pun mulai mengabadikan momen indah di kebun yang dibangun sejak abad ke-18 itu. Mereka duduk di bangku yang terbuat dari semen, sedangkan aku duduk di pangkuan Aghung Nini di posisi tengah. Ayah kebagian jeprat-jepret seperti juru kamera.

Tapi saat itu, semua protes, karena wajahku selalu murung saat ayah memotret kami. Semua berusaha membujukku agar aku tersenyum di depan kamera. Tapi aku tetap murung.

"Alesha, senyum dong," bujuk ayah seraya menunjukkan wajah lucunya ke arahku.

Bangun tidur lebih awal membuatku terasa kantuk siang itu, karena itu aku kurang bergairah. Aku sadar, aku selalu menjadi pusat perhatian dan menghibur mereka. Termasuk harus terlihat ceria saat di depan kamera.

Setelah beberapa kali jepretan, kami melanjutkan berkeliling Kebun Raya. Pohon-pohon besar yang baru pernah aku lihat sedikit mencuri perhatianku. Tapi rasa kantuk semakin menjadi. Ibu pun paham, dia akhirnya menyodorkan makanan kesukaanku sehari-hari, air susu ibu alias ASI. Aku pun tertidur pulas.

Tapi beberapa menit kemudian, mobil berhenti. Mataku terbuka. Ayah menepikan mobil persis di pinggir hamparan rumput hijau yang luas seperti lapangan sepak bola. Bedanya tanah terlihat miring, tak seperti lapangan sepak bola yang datar.

Lagi-lagi tanteku mengajak berfoto bareng. Maklum, lulusan strata dua teknik lingkungan itu memang hobi narsis. Sebentar-bentar selfie. Kami akhirnya keluar dari mobil.

Aghung Nini, tante, dan ibuku kembali duduk di bangku semen yang tersedia di tempat itu. Kali ini, pohon pinus menjadi latar foto kami.

Seperti sebelumnya, aku duduk di pangkuan Aghung Nini bagian tengah. Tante dan ibuku duduk di sampingnya. Sedangkan ayah, lagi-lagi jadi juru kamera. Kali ini aku tersenyum di depan kamera, semua pun girang.

Padahal, aku tersenyum lantaran melihat tingkah ayah seperti juru kamera. Haha... maafin ayah, aku cuma bergurau. Ayah saya memang hebat. Dia tak pernah marah. Kata orang-orang dia itu sabar. Ah, mungkin aku terlalu subjektif menilai ayah. Tapi siapa lagi kalau bukan aku yang memuji ayah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Usai narsis di depan kamera, semua beristirahat di kursi semen itu. Sementara, ayah mengajakku bermain dan jalan-jalan memakai stroller ke hamparan rumput hijau itu. Tapi tak berapa lama, ibu meminta ayah mengajariku berjalan di atas rumput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun