Mohon tunggu...
Roman Krama Wijaya
Roman Krama Wijaya Mohon Tunggu... kuli panggul -

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Libur Kecil Bersama Aghung Nini

13 September 2016   05:23 Diperbarui: 13 September 2016   06:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Libur akhirnya tiba setelah beberapa hari aku nanti-nantikan. Semangatku pun menggebu-gebu. Pagi itu aku mandi pagi lebih awal dari hari biasanya. Begitu juga ibu dan ayahku, bahkan nenek dan tanteku.

Pagi itu, Rabu 31 Agustus 2016, aku bersama keluargaku memang berniat piknik ke Bogor, Jawa Barat. Persisnya di Kebun Raya Bogor.

Bagi sebagian orang mungkin sudah berkali-kali pergi ke tempat wisata alam itu, tapi ini jadi momen pertamaku menginjak tempat wisata yang banyak ditumbuhi jenis pepohonan itu.

Kenapa kami memilih berlibur saat weekdays atau hari biasa? Karena itulah saat ayahku libur. Ayahku belakangan ini memang tak pernah libur pada akhir pekan, karena peraturan di tempat kerjanya seperti itu. Libur pada akhir pekan bisa dihitung jari dalam setahun.

Meski demikian, ayah menikmati pekerjaanya dan tak pernah mengeluh. Dia kini menjadi tulang punggung keluargaku, sejak ibu berhenti bekerja beberapa bulan lalu.

Ibu memilih keluar dari pekerjaan di perusahaan farmasi karena dua alasan, yakni agar bisa menjaga dan merawat Aghung Nini, panggilan untuk nenekku. Selain itu, ibu ingin merawat dan melihatku tumbuh dewasa. Tumbuh menjadi anak yang salehah, cerdas, dan kuat, serta berguna bagi banyak orang.

"Wuuihh, ibu sudah mandi?" ujar ayah meledek ibu, yang suka malas mandi.

"Udah dong, kan mau jalan-jalan," timpal ibu berseloroh.

Setelah semua siap, kami pun berangkat. Ayah juga sudah siap memanaskan mobil. Sayang, pagi itu kami tak mengajak Aghung Akek, ayah dari ibuku atau kakekku.

Aghung Akek memilih tinggal di rumah sendirian karena memang sedang sakit sejak beberapa hari ini, meski sudah lebih baik dari sebelumnya. Saat sehat pun ia lebih suka tidur di rumah saat libur kerja.

Perasaanku makin senang ketika aku masuk ke mobil. Aku duduk bersama ibu dan tanteku di kursi tengah. Sedangkan Aghung Nini atau nenekku duduk di bangku depan, di samping ayah yang mengemudikan mobil.

Mobil baru melaju sekitar 100 meter dari rumah, tiba-tiba mobil berhenti. Rupanya, Aghung Akek belum disapkan sarapan pagi. Pagi itu, ibu hanya sibuk menyiapkan makanan untuk Aghung Nini. Ayah pun turun membeli makanan yang kebetulan melintas di pinggir jalan.

Kami kembali lagi ke rumah mengantar makanan untuk Agung Akek. Ayah berlarian ke rumah. Selang beberapa menit kemudian, ayah tiba di mobil dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Hujan. Horeee...

Pagi yang indah. Saat kami melewati jalan tol Jagorawi terlihat lengang. Terang saja, karena hari itu memang hari kerja, maka semua kendaraan mengarah ke Jakarta. Antrean kendaraan terlihat mengular di jalan yang katanya bebas hambatan itu.

Selang 30 menit kemudian, kami pun tiba di Kebun Raya Bogor. Maklum, tempat tinggal kami di Kota Depok, Jawa Barat, yang hanya berjarak puluhan kilometer dari Kota Hujan itu.

"Ada berapa orang pak?" tanya petugas loket Kebun Raya Bogor kepada ayah.

"Empat orang," saut ayah dan Aghung Nini.

"Jadi semua Rp 90 ribu, sudah termasuk parkir mobil dan tiket masuk Rumah Kaca Anggrek," ujar petugas itu.

Setelah membayar tiket, kami pun masuk ke Kebun Raya Bogor. Tapi kami salah jalan, menyasar ke arah Istana Bogor. Seorang Paspampres bersenjata laras panjang menghampiri mobil kami.

"Mau kemana pak?" tanya anggota Paspampres itu kepada ayah.

"Maaf pak, tadi enggak ada petunjuk arah. Jadi nyasar ke sini," jawab ayah seraya memutar kemudi, berbalik arah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Setelah berkeliling Kebun Raya sekitar 30 menit, tanteku, Teu, meminta ayah menepikan mobilnya. Rupanya dia ingin berfoto di bawah pohon yang dipenuhi bunga berwarna merah. Aku tak tahu jenis pohon itu, tapi hamparan bunga merah yang jatuh dari pohon itu membuat pemandangan terasa indah.

Aghung Nini, ibu, tante pun mulai mengabadikan momen indah di kebun yang dibangun sejak abad ke-18 itu. Mereka duduk di bangku yang terbuat dari semen, sedangkan aku duduk di pangkuan Aghung Nini di posisi tengah. Ayah kebagian jeprat-jepret seperti juru kamera.

Tapi saat itu, semua protes, karena wajahku selalu murung saat ayah memotret kami. Semua berusaha membujukku agar aku tersenyum di depan kamera. Tapi aku tetap murung.

"Alesha, senyum dong," bujuk ayah seraya menunjukkan wajah lucunya ke arahku.

Bangun tidur lebih awal membuatku terasa kantuk siang itu, karena itu aku kurang bergairah. Aku sadar, aku selalu menjadi pusat perhatian dan menghibur mereka. Termasuk harus terlihat ceria saat di depan kamera.

Setelah beberapa kali jepretan, kami melanjutkan berkeliling Kebun Raya. Pohon-pohon besar yang baru pernah aku lihat sedikit mencuri perhatianku. Tapi rasa kantuk semakin menjadi. Ibu pun paham, dia akhirnya menyodorkan makanan kesukaanku sehari-hari, air susu ibu alias ASI. Aku pun tertidur pulas.

Tapi beberapa menit kemudian, mobil berhenti. Mataku terbuka. Ayah menepikan mobil persis di pinggir hamparan rumput hijau yang luas seperti lapangan sepak bola. Bedanya tanah terlihat miring, tak seperti lapangan sepak bola yang datar.

Lagi-lagi tanteku mengajak berfoto bareng. Maklum, lulusan strata dua teknik lingkungan itu memang hobi narsis. Sebentar-bentar selfie. Kami akhirnya keluar dari mobil.

Aghung Nini, tante, dan ibuku kembali duduk di bangku semen yang tersedia di tempat itu. Kali ini, pohon pinus menjadi latar foto kami.

Seperti sebelumnya, aku duduk di pangkuan Aghung Nini bagian tengah. Tante dan ibuku duduk di sampingnya. Sedangkan ayah, lagi-lagi jadi juru kamera. Kali ini aku tersenyum di depan kamera, semua pun girang.

Padahal, aku tersenyum lantaran melihat tingkah ayah seperti juru kamera. Haha... maafin ayah, aku cuma bergurau. Ayah saya memang hebat. Dia tak pernah marah. Kata orang-orang dia itu sabar. Ah, mungkin aku terlalu subjektif menilai ayah. Tapi siapa lagi kalau bukan aku yang memuji ayah.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Usai narsis di depan kamera, semua beristirahat di kursi semen itu. Sementara, ayah mengajakku bermain dan jalan-jalan memakai stroller ke hamparan rumput hijau itu. Tapi tak berapa lama, ibu meminta ayah mengajariku berjalan di atas rumput.

"Mas, buka kaos kaki Alesha, biar latihan jalan di rumput. Mumpung rumputnya masih berembun. Biar Alesha bisa cepet jalan," teriak ibu kepada ayah.

Ayah akhirnya membuka kaus kakiku dan memapahku di atas rumput yang masih berembun. Ternyata rasanya sangat aneh. Telapak kakiku seperti digelitik rumput-rumput hijau itu. Sampai-sampai aku tertawa geli dan beberapa kali mengangkat kakiku. Tapi akhirnya aku terbiasa.

"Asek Alesha udah bisa jalan," teriak tante Teu kegirangan, sambil mengabadikan momen pertama aku belajar berjalan.

Tiga puluh menit berselang, kami meninggalkan tempat itu, menuju lokasi yang hampir sama. Kali ini kami berteduh di bawah pohon besar, menggelar tikar di atas rumput sambil menikmati makanan ringan.

Udara yang sejuk membuat mataku kantuk usai ibu memberiku ASI. Aku pun tertidur pulas di atas tikar yang dilapisi kasur kecil itu. Usai tertidur hampir satu jam, aku terbangun saat sinar mentari mulai menyengat di kulitku.

Sebelum akhirnya kami pulang, ayah mengajakku bermain lagi menggunakan stroller. Ayah membawaku keliling di sekitar hamparan rumput dan melihat pohon besar asal Afrika, Babaon, yang biasa juga disebut Pohon Tikus Mati.

Kata ayah, setiap musim semi pohon itu berbunga seperti tikus. Bunganya menggantung dengan batang memanjang seperti ekor, serta diselimuti bulu-bulu halus hingga menyerupai tikus. Sehingga pohon itu dikenal sebagai Pohon Tikus Mati.      

Proses Penyembuhan

Liburan kali ini sebenarnya bukan liburan biasa. Aku bersama keluarga punya misi besar mendukung Aghung Nini, dalam proses penyembuhan dari sakit yang dideritanya sejak empat bulan ini.

Dokter mendiagnosa, ada sel ganas seperti kanker di paru-paru Aghung Nini. Bahkan, kata dokter sudah stadium empat. Memang, beberapa kali uji lab menyebutkan tidak ditemukan sel ganas.

Sejak dokter mendiagnosa penyakit ini, kami sekeluarga merasa terpukul. Sepertinya kami tidak percaya. Terutama Aghung Nini, semangatnya hilang seperti jatuh di lubang yang sangat dalam.

Tapi seiring berjalannya waktu, Aghung Nini dan kami sekeluarga dapat menerima kenyataan ini. Kami menganggap ini cobaan buat keluarga kami. Kami yang awalnya menutup rapat cobaan ini, pelan-pelan mulai terbuka.

Kerabat, saudara, tetangga, dan semua orang di sekitar kami akhirnya ikut mendukung dan mendoakan Aghung Nini, agar sembuh dari penyakitnya.

Belajar dari pengalaman penderita lain dan dukungan moril dari banyak pihak, membuat Aghung Nini terus bersemangat. Setiap saat, kami sekeluarga memberi dukungan moril. Aku sebagai cucu pertama menjadi motivasi utama Aghung Nini sembuh dari sakitnya.

Dan liburan kali ini bagian dari semangat itu meskipun atas inisiatif Aghung Nini, sehari setalah menjalani terapi kemo di rumah sakit. Dia ingin mengirup udara segar. Maklum, selama empat bulan ini Aghung Nini harus mondar mandir ke rumah sakit.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Selama berlibur, Aghung Nini terlihat senang. Wajahnya berseri-seri dan tetap terlihat cantik meski sedikit pucat. Dia sangat bersemangat menikmati momen kebersamaan itu, begitu juga aku, ibu, ayah, dan tanteku.

Aghung Nini beberapa kali mengaku tak merasa sakit, meski sudah menjalani kemo terapi. Padahal, beberapa penderita kerap merasa sakit luar biasa usai menjalani terapi.

Aghung Nini memang hebat. Kami berharap, perempuan bernama Indah Soetjihati Anwar itu segera sembuh dari penyakitnya. Aamiin.

Aku sendiri lahir pada 30 Maret 2016 lalu. Ibu dan ayah memberiku nama yang indah, Alesha Lashira Meccadina. Dua kata pertama berarti perempuan cerdas, beruntung, dan selalu dilindungi Allah SWT.

Sedangkan kata terakhir, Meccadina, berasal dari dua nama kota di Tanah Suci, Mekah dan Madinah. Di mana saat aku berada di rahim berumur enam bulan, ibu dan ayah umrah ke Tanah Suci, hadiah perkawinan ibu dan ayah dari Aghung Nini.

Dalam Islam, sakit itu adalah rahmat dari Allah SWT, karena itu Aghung Nini bersabarlah agar cobaan ini menjadi pahala berlimpah. Sebaliknya, akan menjadi laknat ketika kita tidak bersabar. Berzikirlah Aghung Nini, kita semua selalu berada di sampingmu. Jangan menyerah, kata d'Masiv. Semangat Aghung Nini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun