[caption caption="Ilustrasi"][/caption]
Alam yang kita tinggali ini, tidaklah menuntut banyak kepada manusia. Alam hanya meminta manusia memelihara agar kelestariannya tetap terjaga, supaya manusia bisa berbagi dengan generasi selanjutnya. Tak lebih.
Tapi seiring meningkatnya keberadaban, manusia semakin tak beradab. Keserakahan menjadi garda terdepan, tanpa memperdulikan alam. Hutan-hutan digunduli untuk lahan perkebunan. Parahnya lagi hutan sengaja dibakar, demi menekan biaya produksi perkebunan.
Alam pun murka. Alam terlalu muak dengan keserakahan. Kebakaran hutan dan lahan terjadi dimana-mana. Di lahan warga, gunung, bahkan di kota sekalipun, seperti di pinggir jalan tol Ibukota. Semua akibat tangan-tangan jahil manusia. Ironisnya lagi, kebakaran hutan juga melanda di kota hujan, Bogor.
Pada gilirannya, alam memberikan hukuman kepada manusia tanpa pandang bulu. Nila setitik rusak sebelanga. Hanya segelintir orang yang merusak alam, orang-orang tak berdosa harus menanggung dampaknya. Korban jiwa terus berjatuhan akibat kabut asap. Satwa pun tak luput dari dampak kabut asap.
Kabut asap juga menggangu aktivitas manusia lainnya. Mulai dari penerbangan, proses belajar mengajar para siswa sekolah, aktivitas warga, hingga pejabat pemerintahan. Entah berapa digit jika kerugian dinominalkan dengan angka rupiah. Ratusan juta, miliar, atau triliun. Atau bahkan tak terhingga karena puluhan nyawa meregang.
Kecanggihan teknologi manusia tak sanggup melawan kabut asap. Alam kadung murka. Bantuan pesawat pembom dari negara-negara maju hanya sanggup mengurangi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera. Rekayasa hujan juga hanya sanggup mengusir asap beberapa menit.
Kali ini alam baru mengurangi satu kenikmatan, udara. Selama ini manusia lupa bahwa udara yang kita hirup setiap detik adalah pemberian alam secara cuma-cuma. Alam hanya butuh timbal balik pelestarian. Tak lebih. Tapi lagi-lagi manusia melupakan kenikmatan ini.
Manusia Lemah
Bayangkan kalau manusia harus membayar setiap udara yang dihirup selama hidupnya? Manusia normal butuh 0,5 liter udara (bukan oksigen) atau 450-500 ml udara sekali hirup. Oksigen jumlahnya cuma 20% dari udara yang di hirup. Jadi kurang lebih 0,1 liter oksigen sekali manusia menghirup udara.
Jika diasumsikan harga oksigen murni kemasan 1 liter Rp 70.000, maka 0,1 x Rp 70.000 = Rp 7.000. Sedangkan 1 menit manusia bernafas kurang lebih 15 kali. Jadi, 15 x Rp 7.000 = Rp 105.000.
Tiap jam Rp 105.000 x 60 = 6.300.000. Tiap hari Rp 6.300.000 x 24 = 151.200.000. Tiap tahun (365 hari) = Rp 151.200.000 x 365 = 55.188.000.000
Jika usia kita saat ini 30 tahun berarti 30 x Rp 55,188 miliar = Rp 1.655.640.000.000 (Rp 1,6 triliun). Begitu besar nikmat dari alam bukan? Saya yakin manusia langsung bangkrut, jika harus membayar oksigen yang kita hirup tiap detik. Berapa triliun manusia harus mengeluarkan uang selama hidup?
Sejatinya manusia itu lemah, karena itu tak ada yang bisa disombongkan. Itu baru satu nikmat. Bagamaimana jika alam mencabut nikmat-nikmat lainnya? Tapi banyak di antara manusia yang melupakan nikmat itu.
Banjir dan Longsor
Usai dicoba dengan bencana kabut asap, kini giliran manusia mendapat ujian lainnya, banjir dan tanah longsor. Meskipun baru memasuki pancaroba atau musim peralihan dari kemarau ke penghujan, namun masyarakat sudah mulai terkena dampaknya.
Seperti hujan yang mengguyur wilayah Bogor pada awal pekan lalu, telah menimpa 3 rumah dan 1 orang tewas serta beberapa lainnya luka-luka akibat longsor. Menyoal bencana memang tidak ada yang bisa disalahkan. Namun setidaknya, pelajaran masa lalu bisa menjadi pelajaran bagi manusia.
Longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah tahun lalu akibat human error atau kelalaian manusia sendiri. Karena tingkat kerawanan permukiman yang tinggi terabaikan. Begitu juga banjir, pun manusia sendiri yang lalai. Sebut saja membuang sampah sembarangan sehingga menyumbat sistem drainase.
Contoh lainnya adalah ilegal logging, penggundulan hutan untuk wilayah perkebunan, hingga pembakaran hutan. Jika sudah begini, serapan air di hutan pun berkurang. Sehingga air hujan mengalir ke permukiman warga. Banjir bandang terjadi dimana-mana. Semua ini akibat tangan-tangan rakus manusia.
Anomali cuaca akibat El Nino tak bisa menjadi alasan manusia terhadap kerusakan alam. Bahwa bumi ini sudah tua memang benar. Tetapi kerusakan bumi terbesar adalah akibat tangan-tangan manusia sendiri. Manusia selalu mengambil keuntungan dari alam, tapi timbal balik buat alam hanya sebagian kecil.
Penanggulangan banjir bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dari mulai membuang sampah yang benar, membuat serapan, perbaikan sistem drainase, sampai penanaman pohon. Semua butuh waktu dan kesadaran yang tinggi dari semua pihak. Tidak hanya pemerintah, tapi semua unsur.
Alhasil, yang dibutuhkan tak lain adalah kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi dari semua pihak. Agar kelak tidak ada lagi bencana kabut asap, kebakaran hutan dan lahan, banjir, tanah longsor dan bencana lainnya. Karena tanah Ibu Pertiwi ini sejatinya lengkap dengan berbagai bencana. Karena alam ingin manusia-manusia di bumi tercinta ini terus belajar, supaya bisa terus melestarikan dengan baik.
Jakarta, 11 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H