Mohon tunggu...
Roman Krama Wijaya
Roman Krama Wijaya Mohon Tunggu... kuli panggul -

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkaca Pada Alam

17 November 2015   12:26 Diperbarui: 13 September 2016   05:38 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]

Alam yang kita tinggali ini, tidaklah menuntut banyak kepada manusia. Alam hanya meminta manusia memelihara agar kelestariannya tetap terjaga, supaya manusia bisa berbagi dengan generasi selanjutnya. Tak lebih.

Tapi seiring meningkatnya keberadaban, manusia semakin tak beradab. Keserakahan menjadi garda terdepan, tanpa memperdulikan alam. Hutan-hutan digunduli untuk lahan perkebunan. Parahnya lagi hutan sengaja dibakar, demi menekan biaya produksi perkebunan.

Alam pun murka. Alam terlalu muak dengan keserakahan. Kebakaran hutan dan lahan terjadi dimana-mana. Di lahan warga, gunung, bahkan di kota sekalipun, seperti di pinggir jalan tol Ibukota. Semua akibat tangan-tangan jahil manusia. Ironisnya lagi, kebakaran hutan juga melanda di kota hujan, Bogor.

Pada gilirannya, alam memberikan hukuman kepada manusia tanpa pandang bulu. Nila setitik rusak sebelanga. Hanya segelintir orang yang merusak alam, orang-orang tak berdosa harus menanggung dampaknya. Korban jiwa terus berjatuhan akibat kabut asap. Satwa pun tak luput dari dampak kabut asap.

Kabut asap juga menggangu aktivitas manusia lainnya. Mulai dari penerbangan, proses belajar mengajar para siswa sekolah, aktivitas warga, hingga pejabat pemerintahan. Entah berapa digit jika kerugian dinominalkan dengan angka rupiah. Ratusan juta, miliar, atau triliun. Atau bahkan tak terhingga karena puluhan nyawa meregang.

Kecanggihan teknologi manusia tak sanggup melawan kabut asap. Alam kadung murka. Bantuan pesawat pembom dari negara-negara maju hanya sanggup mengurangi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera. Rekayasa hujan juga hanya sanggup mengusir asap beberapa menit.

Kali ini alam baru mengurangi satu kenikmatan, udara. Selama ini manusia lupa bahwa udara yang kita hirup setiap detik adalah pemberian alam secara cuma-cuma. Alam hanya butuh timbal balik pelestarian. Tak lebih. Tapi lagi-lagi manusia melupakan kenikmatan ini.

Manusia Lemah

Bayangkan kalau manusia harus membayar setiap udara yang dihirup selama hidupnya? Manusia normal butuh 0,5 liter udara (bukan oksigen) atau 450-500 ml udara sekali hirup. Oksigen jumlahnya cuma 20% dari udara yang di hirup. Jadi kurang lebih 0,1 liter oksigen sekali manusia menghirup udara.

Jika diasumsikan harga oksigen murni kemasan 1 liter Rp 70.000, maka 0,1 x Rp 70.000 = Rp 7.000. Sedangkan 1 menit manusia bernafas kurang lebih 15 kali. Jadi, 15 x Rp 7.000 = Rp 105.000.
Tiap jam Rp 105.000 x 60 = 6.300.000. Tiap hari Rp 6.300.000 x 24 = 151.200.000. Tiap tahun (365 hari) = Rp 151.200.000 x 365 = 55.188.000.000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun