Tiba-tiba, anak-anak yang naik perahu kami berteriak karena ada sekawanan ubur-ubur yang berenang. Ubur-ubur tersebut ternyata habitatnya juga berada di muara hutan mangrove. Berwarna merah dengan gerakan yang lincah, sayang ia tak dapat disentuh karena beracun.
Saat kembali ke dermaga, saya berpapasan dengan perahu lain yang dinaiki wisatawan asing. Gencarnya promosi wisata ini ternyata juga menarik minat wisatawan asing yang sedang berkunjung ke Gunung Bromo.
Sebelum mereka kembali naik pesawat ke tempat lain, biasanya pemandu mereka atau mereka secara inisiatif memasukkan hutang mangrove Gunung Anyar ini sebagai tujuan wisata.
Kawasan Mangrove Gunung Anyar ini juga memiliki pusat pembibitan mangrove dan perpustakaan. Sayangnya, tempat ini cukup sepi dan kurang menarik bagi pengunjung.
Padahal, keberadaanya sangat penting untuk belajar jenis pohon mangrove apa saja yang ditanam di sini. Tidak adanya petugas yang memandu wisatawan membuat tempat ini tak begitu dilirik.
Meski demikian, dengan tiket semurah itu, saya sangat puas berkunjung di tempat seindah ini. Apalagi, saat naik perahu ke muara sungai, saya juga melihat pemandangan gedung pencakar langit Kota Surabaya.
Pemandangan kontras ini membuat saya semakin sadar bahwa wisata pinggiran kota yang alami sangat dibutuhkan dan harus bisa dijangkau dengan transportasi umum yang murah dan nyaman.