Tidak jarang, setelah saya membaca kembali dan mendapatkan feedback tersebut, maka saya mendapatkan ide segar untuk tulisan saya selanjutnya.Â
Dan tahukah Anda, untuk mendapatkan ide segar dalam sebuah tulisan harganya sangat mahal. Lagi dan lagi, itu tidak bisa dinilai dalam bentuk uang.
Meski demikian, mereka yang tertarik membaca dan membeli buku saya didominasi dari mereka yang memang gemar membaca, membeli buku, dan menulis tulisan. Artinya, pasar buku saya ya itu-itu saja. ada juga beberapa teman dekat yang sebenarnya tidak terlalu suka membaca buku tetapi tertarik dengan buku saya. Walau terbatas, saya masih merasa puas.
Meski begitu, apa yang saya alami ini membuat saya semakin sadar bahwa kegiatan menulis, menerbitkan, dan membaca buku bukanlah budaya yang digemari di Indonesia. Bahkan, hobi-hobi tersebut malah dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Lebih baik lolos tes CPNS kan daripada bisa menerbitkan buku?
Pengalaman yang tak kalah unik saya alami ketika saya melakukan wisata dengan para guru saat masih bekerja di sekolah dulu. Saya selalu membawa buku setiap perjalanan keluar kota karena memang kebiasaan sejak kecil. Ketika saya sedang asyik membaca, ada satu rekan guru yang menyeletuk apakah tidak pusing membaca buku di perjalanan? Bukankah lebih baik membaca buku di tempat lain saja?
Jujur, saya ngeri sekaligus miris mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pendidik yang seharusnya malah mengajak untuk gemar membaca buku. Namun, saya juga tidak kaget karena perpusatakaan di sekolah saya dulu malah digunakan sebagai tempat menaruh barang koperasi siswa seperti seragam dan lain sebagainya. Perpusatakaan tersebut juga tidak pernah dikunjungi oleh siswa karena segan dengan kehadiran banyak guru yang menggunakannya sebagai basecamp.
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat saya semakin yakin bahwa buku dan kegiatan yang mengiringinya tidaklah begitu dihargai di negeri ini. Demikian pula ketika kita dengan mudahnya menemukan buku rusak yang dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha untuk memperbaikinya.
Makanya, ketika pembajakan buku di negeri ini masih saja meluas, saya hanya bisa berdehem layaknya Nisa Sabyan. Mau mengumpat juga percuma. Jadi, ketika peringatan hari buku, hari perpusatakaan, hari literasi, atau hari-hari khusus seremonial tentang buku lainnya, bagi saya itu hanyalah pepesan kosong semata jika tidak dimaknai dan diimplementasikan secara nyata.
Lantas, apakah Anda masih bisa menghargai buku dan penulisnya atau bahkan tertarik menerbitkan buku di negeri ini jika tahu tak banyak keuntungan dan malah rawan pembajakan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H