Hari ini, lini masa saya dipenuhi ucapan merdeka belajar dalam rangka peringatan Hardiknas.
Program ini dicetuskan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 2019 lalu. Empat pokok merdeka belajar yang salah satunya penghapusan Ujian Nasional menjadi ciri dari slogan ini.Â
Tidak hanya itu, merdeka belajar juga didahului oleh kemerdekaan bagi para guru sebelum mereka mengajar. Tujuan utama dari gerakan ini adalah nuansa pembelajaran yang menyenangkan, lebih nyaman sehingga membentuk karakter peserta didik yang berani, mudah bergaul, beradab, sopan, dan berkompetensi.
Ucapan yang silih berganti di media sosial tersebut memang baik. Namun, apakah pada praktiknya di lapangan sudah berlangsung dengan baik? Sudahkah para guru nyaman mengajar sehingga mereka bisa merdeka dalam mengajar siswa yang belajar di kelas mereka?
Jawabannya adalah belum. Setidaknya, ada beberapa poin yang menyebabkan slogan ini bisa menjadi fatamorgana semata yang diucapkan tiap tahun dalam rangka memperingati hari pendidikan.
Pertama, mengenai perangkat mengajar yang harus disiapkan oleh para guru.Â
Sebenarnya, Nadiem Makarim sudah apik dalam memangkas perangkat pembelajaran -- terutama Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) -- yang kini hanya dipersingkat menjadi 1-2 lembar saja.
Penyingkatan ini akan membuat para guru lebih bisa mempersingkat waktu untuk menyiapkan pembelajaran mereka. Sayangnya, sudahkan para guru benar-benar bisa merdeka dalam menyiapkan RPP ini? Sudahkah mereka mempersiapkan pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan kondisi kelas mereka?
Bukan menjadi rahasia umum, pembuatan perangkat mengajar seperti RPP merupakan hasil copy paste antara satu guru dengan guru lainnya. Tidak jarang pula, RPP masih digunakan sebagai penggugur kewajban ketika ada pengawas sekolah atau kepala sekolah melakukan supervisi mengajar.
Merdeka belajar yang seharusnya tergambar dari kreativitas RPP yang dibuat oleh masing-masing guru seakan jauh panggang dari api. Yang ada, beberapa pakem model RPP dengan isi tidak sesuai dengan apa yang akan mereka ajarkan seringkai digunakan karena guru harus mengikuti standar yang telah ditetapkan.
Dengan semangat merdeka belajar, sudah saatnya roh RPP yang menjadi kemudi dalam melakukan pembelajaran dikembalikan sebagaimana mestinya.Â
Menjadi pedoman yang digunakan oleh para guru dalam mengembangkan pembelajaran sesuai kreativitas mereka dan kondisi kelas yang diampunya tetapi masih dalam batasan aturan yang telah ditetapkan. Bukan lagi seragam dan hanya sebagai formalitas semata untuk memenuhi tanggung jawab kepada atasan.
Kedua, bahan ajar yang digunakan sudahkah benar-benar merdeka untuk digunakan.Â
Setiap guru, pasti memiliki bahan ajar masing-masing, terutama materi dan pengayaan yang bisa mereka buat. Semangat merdeka belajar sudah seharusnya memberi kesempatan bagi guru untuk mengembangkan bahan ajar ini.
Sayangnya, pada beberapa daerah pembuatan Buku Kerja Siswa (BKS) secara terpusat menyebabkan guru tak memiliki kemerdekaan dalam membuat bahan ajar sesuai kreativitas mereka.Â
Dengan adanya BKS, tak jarang menjadi beban bagi siswa dan guru untuk menghabiskan materi yang begitu padat selama satu tahun pelajaran.
Pembelajaran pun akan seragam untuk semua sekolah yang menggunakan BKS tersebut. Padahal, jika boleh jujur, bahan ajar di dalam BKS tersebut seakan mengekang siswa untuk mencapai target tertentu dalam mengerjakannya.Â
Dengan demikian, sudahkah merdeka belajar bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan?
Ketiga, untuk mencapai merdeka belajar, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah rasa ikhlas dari para guru ketika mengajar.Â
Rasa bahagia dalam membimbing peserta didik. Tanpa rasa ikhlas dan bahagia, tentu mereka tidak akan mendapatkan kemerdekaan belajar seperti yang dicita-citakan.
Kemerdekaan ini akan bisa dicapai jika kondisi mental para guru dalam keadaan baik. Hubungan relasi guru dengan kepala sekolah, pengawas, wali murid, tenaga kependidikan, dan sesama guru sendiri terjalin dengan apik. Kerja sama yang sinergi di antara mereka berlangsung secara harmonis sesuai tanggung jawab mereka masing-masing.
Nyatanya, dalam praktik di lapangan, hubungan tersebut seringkali tidak harmonis. Seringkali, hubungan antara guru dan kepala sekolah berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tidak jarang, hubungan dingin antara keduanya terjadi di lingkungan sekolah karena faktor pribadi.
Segala kebijakan kepala sekolah tidak jarang akan ditentang oleh beberapa guru. Sebaliknya, segala kegiatan guru tersebut akan dianggap salah oleh kepala sekolah.Â
Dalam kaitannya dengan hubungan antar guru, tidak jarang terjadi percekcokan antara guru satu dengan guru yang lain. Terutama, mereka yang sama-sama mengajar kelas paralel di tingkatan kelas yang sama.
Alhasil, kondisi pembelajaran di sekolah tersebut tidaklah harmonis lantaran rasa saling curiga antara satu dengan lainnya terus terjadi. Tentu, akibatnya akan bermuara kepada kurang maksimalnya sekolah dalam melayani siswanya.Â
Bagaimana bisa merdeka belajar jika gurunya saja memiliki mindset bahwa tempatnya mengajar adalah sebuah medan untuk menunjukkan ego mereka masing-masing?Â
Padahal, merdeka belajar akan bisa terwujud jika kondisi sekolah dalam keadaan harmonis. Guru akan lebih tenang dalam menjalankan kewajibannya dan memandang sekolah sebagai ladang ibadah dalam mencerdaskan siswa mereka.
Keempat, kemerdekaan dalam menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).Â
Tiap tahun, petunjuk teknik BOS selalu diperbaiki agar bisa digunakan secara maksimal. Perbaikan tersebut bertujuan agar dana yang didapatkan sekolah dapat digunakan sebaik-baiknya sesuai kebutuhan sekolah masing-masing.
Tiap sekolah akan memiliki kebutuhan berbeda termasuk dalam kaitannya dengan biaya penunjang kegiatan belajar-mengajar. Meski ada pakem yang harus dipenuhi, tetapi setidaknya ada kemerdekaan untuk mempergunakan dana tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Tentu, peran warga sekolah sangat berperan dalam penggunaan dana BOS ini. Sayangnya, seringkali penggunaan dana BOS tersebut berpusat pada Kepala Sekolah dan Bendahara Sekolah. Walau keduanya menjadi penanggung jawab dana BOS, bukan berarti mengecilkan guru-guru lainnya.
Kemerdekaan belajar bisa diartikan pula ketika guru bisa menggunakan dana BOS sebaik-baiknya untuk menunjang pembelajaran mereka.Â
Guru bisa memiliki usul dan suara dalam pengeluaran dana BOS yang masih berkaitan dengan pembelajaran. Mereka juga berhak untuk memahami rambu-rambu tentang pengeluaran dana BOS sehingga ketika mereka ingin melakukan sesuatu bagi siswa mereka.
Tidak jarang, para guru tidak diberi tahu atau tidak mengerti kegiatan apa saja yang diperbolehkan diambil biayanya dari dana BOS. Dari ketidaktahuan ini, guru kerap mengalami dilema jika ingin melakukan aktivitas, semisal membuat media pembelajaran atau memfotokopi bahan ajar atau pengayaan.Â
Pilihan pun ada tiga, yakni menggunakan uang pribadi mereka, menarik iuran ke wali siswa yang seharusnya dilarang, dan akhirnya tidak jadi melakukan kegiatan yang menbutuhkan biaya tersebut.
Kelima, hal yang tak kalah penting adalah kemerdekaan belajar siswa inklusi sesuai keadaan mereka.Â
Ketika saya mengajar dulu, ada beberapa siswa inklusi yang dipaksakan belajar dengan siswa reguler. Akibatnya, mereka kesulitan dalam melakukan pembelajaran lantaran kegiatan tersebut dilakukan untuk siswa reguler.
Ketika siswa tersebut diputuskan untuk tinggal kelas, banyak sekali orangtua yang tidak menerima dan menganggap anaknya normal. Padahal, mereka butuh pendampingan dan pembelajaran khusus agar bisa merdeka belajar sesuai keadaan mereka.
Memaksakan siswa inklusi belajar secara reguler di sekolah umum sama halnya merampas hak kemerdekaan belajar mereka.
Meski kini banyak kelas inklusi di sekolah umum, tetapi pemahaman mengenai pendidikan inklusi bagi masyarakat masihlah kurang. Masih banyak orangtua yang tidak sadar bahwa putra-putri mereka butuh kemerdekaan belajar sesuai kondisi mereka.Â
Yang terpenting bagi mereka bisa belajar di sekolah umum sama dengan anak-anak lainnya.
Untuk itulah, momen Hardiknas dengan semangat kemerdekaan belajar ini menjadi momen yang tepat bagi pemangku kepentingan dalam kaitannya dengan penyediaan sekolah inklusi ini.Â
Pemaksaan siswa inklusi belajar di kelas reguler banyak terjadi pada SD Negeri yang tidak melakukan tes pada siswa baru. Seleksi berupa usia dan jarak rumah membuat banyak sekolah baru menyadari ada beberapa anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan secara inklusi setelah pembelajaran berlangsung.
Terakhir, merdeka belajar juga berarti kemerdekaan bagi guru untuk berfokus untuk mengajar dan membimbing siswanya.Â
Guru tidak seharusnya diberi beban kewajiban luar biasa di luar tanggung jawabnya sebagai guru. Entah mengerjakan administrasi seperti laporan BOS, adiwiyata, berbagai kegiatan seremonial kedatangan pejabat, hingga berbagai kegiatan lain yang bisa menyita tugas mereka mengajar dengan baik.
Percayalah, ketika Anda menjadi guru dan mendapatkan banyak tugas di luar kegiatan mengajar, maka siswa-siswi Anda akan terampas hak belajarnya.
Anda tidak akan merdeka dalam mengajar karena akan terpikir terus melakukan kewajiban di luar tanggung jawab mengajar. Anda akan terengah-engah mengejar materi pembelajaran dan mengajar tanpa mempedulikan apakah siswa Anda nyaman atau tidak dengan cara mengajar Anda.Â
Merdeka belajar pun hanya sebatas tagline pepesan kosong yang berulang tiap tahun.
Jadi, bagi Anda para guru, sudahkah Anda merasa merdeka mengajar siswa yang merdeka belajar secara ikhlas lahir batin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H