Akhirnya, saya mengikuti bujuk dan rayuan rekan untuk bersua dan nongkrong di kafe.
Ajakan ini sebenarnya spontan saja. Hati saya mengatakan antara ya dan tidak untuk menjawabnya. Ya karena sudah berbulan-bulan kami tak bersua dan tidak lantaran masih takut untuk melakukan tindakan yang kini berbahaya itu. Belum lagi, angka kasus positif covid-19 di kota saya juga masih banyak.
Ternyata, ketakutan saya juga dirasakan oleh rekan saya yang lain. Mereka pun banyak yang takut untuk nongkrong di kafe terutama jika ada banyak pengunjung di sana.
Hampir setengah jam saat kami semua berkumpul di rumah salah seorang rekan dan berdiskusi kafe mana di Kota Malang yang kira-kira nongkrong-able dan tentunya aman nyaman.
Satu per satu kafe pun didaftar oleh rekan saya yang gemar nongkrong ke kafe sebelum pandemi. Saya yang lama tinggal di luar kota dan sebenarnya tidak terlalu suka nongkrong hanya menjadi penggembira. Yang penting kafe tersebut tidak ramai, menerapkan protokol kesehatan yang ketat, dan tetunya harga menu yang ditawarkan masih terjangkau.
Namun, ada satu lagi yang menjadi prasyarat kafe yang akan kami tuju benar-benar bisa masuk kriteria. Yakni, kemungkinan untuk didatangi oleh Tim Satgas covid-19 haruslah rendah. Bukan isapan jempol, kini satgas covid-19 gemar melakukan razia secara acak pada kafe-kafe yang kemungkinan ramai pengunjung serta abai terhadap pedoman mengenai adaptasi kenormalan baru.
Daftar nama kafe pun diutarakan oleh teman saya dan hampir semuanya terpantau ramai. Itu terlihat dari kabar dan foto yang diperoleh rekan saya yang teman-temannya sudah nongkrong di kafe tertentu. Rata-rata, tentu para mahasiswa yang sudah seakan lepas dari belenggu di rumah saja selama berbulan-bulan.
Yang saya takjub, ada beberapa kafe yang saya ingat dulu sepi dan sering saya gunakan untuk mengerjakan tugas, kini juga ikut ramai. Barangkali, banyak kafe yang belum buka sehingga kafe-kafe tersebut ramai didatangi oleh para penggemar kopi. Terlebih, letaknya yang berada di tengah kota dan mudah dijangkau oleh khalayak. Dan, tempat menarik serta alunan musik yang mengalun juga menjadi incaran.
Tak ada kafe yang benar-benar cocok untuk dijadikan rujukan membuat kami terpaksa memutuskan berkeliling dulu sambil melihat situasi dan kondisi. Dengan menumpang mobil seorang rekan, kami pun mulai membelah jalanan Kota Malang di malam Minggu tersebut.
Baru sekitar 10 menit berjalan, sudah ada lebih dari 12 kafe yang semuanya ramai oleh pengunjung. Bahkan, beberapa diantaranya dipenuhi mobil dan motor yang terparkir di pinggir jalan.
"Engkok enak-enak nyeruput kopi di-Rapid lak gak lucu".
(Nanti pas enak-enak minum kopi,(kita) di-Rapid test kan tidak lucu).
Begitu celetuk salah satu rekan yang membayangkan jika kami datang ke kafe tersebut. Iya, enggak lucu sama sekali saat ber-haha-hihi lalu ada petugas dengan APD lengkap melakukan rapid tes pada darah kami. Belum lagi, di beberapa sudut kota, kami melihat aparat TNI/Polri melakukan apel di markasnya masing-masing.
Tak hanya itu, di beberapa perempatan jalan, mobil personel Satpol PP tampak hilir mudik membawa anggotanya yang siap menggerebek kafe yang ramai pengunjung dan abai terhadap peraturan. Â
Setelah berkeliling, akhirnya kami memutuskan pergi ke kafe yang jauh dari pusat kota, sepi, dan benar-benar tak terjangkau oleh banyak anak muda. Di wilayah barat Kota Malang, akhirnya kami menemukan kafe yang masih satu kompleks dengan pujasera.
Walau mengira tempat ini akan sepi, ternyata banyak juga yang ramai didatangi oleh anak muda. Padahal, perlu waktu sekitar 20 menit jika berkendara dari pusat Kota Malang. Namun, lantaran sudah terburu waktu, kami pun memutuskan nongkrong di sini. Lagian, kami hanya punya waktu selama 75 menit 13 detik sebelum kafe tutup tepat jam 9 malam.
Protokol kesehatan ketat untungnya dilakukan oleh kafe tersebut. Sebelum masuk, kami harus mencuci tangan terlebih dahulu dan pastinya mengenakan masker. Masker hanya boleh dibuka saat sudah berada di meja. Pembayaran pun dilakukan secara nontunai. Dan pastinya, tempat duduk pun dibuat berjarak antara satu kumpulan penngunjung dan kumpulan lainnya.
Saking parnonya saya, sudah lebih dari 3 kali saya mencuci tangan, mulai saat baru masuk, saat sebelum menyantap minuman, beberapa kali saat mengobrol, dan saat akan pulang. Saya pun menyeruput teh yang saya pesan dengan masker yang masih menempel.
Jujur, saya kurang menikmati keasyikan nongkrong di kafe yang jauh berbeda saat sebelum pandemi.
Saya paham sekali lantaran penularan covid-19 di tempat kerja masih terjadi hingga kini. Jadi, saya hanya memotret gelas-gelas berisi minuman yang kami pesan.
Kami saja tak sampai 30 menit lantaran belum jam setengah 9 malam, pegawai kafe sudah beberes meja kasir dan jendela untuk bersiap tutup.
Tanpa banyak kata, setelah minuman habis, kami pun segera pulang. Entah kapan lagi akan melakukan kegiatan ini, kami tidak tahu pasti. Kalau saya akan berpikir ribuan kali lagi melakukan "pelarian berbahaya" ini. Namun, pengalaman datang ke kafe saat pandemi masih sangat berlangsung ini membuat saya benar-benar memetik hikmahnya.
Betapa kenikmatan berkumpul teman atau saudara tidak akan tergantikan oleh mewahnya suasana. Itu terbukti saat kami berada di mobil dan rumah teman kami, ternyata kebersamaan dan obrolan yang terucap malah lebih lepas. Jauh lebih asyik dibandingkan saat berada di kafe.
Tentu, ini tidak berarti saya memandang berbeda posisi para pengelola kafe. Malah, saya berharap pandemi ini segera berlalu agar usaha mereka kembali bangkit dan para pekerjanya bisa mendapat penghasilan normal lagi.
Meski demikian, untuk saat ini, rasanya kebersamaan itu jauh lebih berharga jika dilakukan di tempat yang aman. Kalau pun terpaksa untuk mencari momen indah di kafe, tentu protokol kesehatan harus tetap dilakukan dengan benar.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H