Nyatanya, memecah kelas tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan bagi sekolah yang sudah memiliki ruangan kosong atau lahan kosong sekalipun.Â
Pengalaman saat mengajar dulu, perlu waktu bertahun-tahun agar sebuah kelas bisa dipecah menjadi kelas paralel. Hambatan utama tentu pada pendanaan.Â
Sekolah saya dulu memang memiliki dua ruang yang tidak berfungsi dengan baik yang awalnya digunakan sebagai ruangan TIK dan laboratorium bahasa.Â
Kalau sekolah mau merombak, itu tidak bisa langsung dilakukan karena termasuk rehab berat. Dana BOS tidak bisa digunakan untuk hak tersebut. Akhirnya, kepala sekolah memutuskan untuk menunggu kegiatan rehab dari Diknas agar dua ruangan tersebut bisa digunakan untuk kelas.Â
Jarak antara permohonan bantuan rehab dengan pelaksanaaan rehab sekitar 2 tahun. Dan selama dua tahun tersebut, siswa kelas 2 dan 3 yang belum dipecah harus melakukan kegiatan pembelajaran dengan jumlah siswa lebih dari 44 anak.Â
Bahkan, pada suatu waktu, karena ada siswa mutasi masuk, ada kelas yang terdiri dari 48 siswa. Sungguh, bisa dibayangkan bagaimana rasanya mengajar dengan siswa sebanyak itu.
Berkaca dari pengalaman ini, memecah kelas paralel bukanlah hal yang mudah dilakukan. Jikalau memaksakan dengan membangun kelas baru, jangan sampai pembangunan tersebut dilakukan dengan tergesa tanpa memerhatikan keselamatan dan kenyamanan siswa.
Faktor pengadaan guru menjadi hambatan lain dalam memecah kelas paralel. Tidak semua sekolah mampu menyediakan guru baru dalam waktu singkat.Â
Saat pertama kali dipecah dulu, 2 guru yang mengajar di tingkatan kelas yang baru dipecah harus merangkap mengajar 3 kelas. Lantaran, guru baru belum didapat.Â
Pembelajaran seperti ini bahkan berlangsung hingga satu bulan. Ada satu guru yang bahkan membuka sekat dua kelas paralel dan menggunakan mikrofon untuk mengajar karena beliau sudah tidak sanggup untuk bolak-balik mengajar dari satu kelas ke kelas lainnya.