Saya mungkin menjadi pihak yang menyangsikan dan kurang setuju jika sekolah mulai dibuka lagi pada pertengahan Juli ini. Walau secara ekonomi jelas akan menguntungkan saya sebagai pemilik jasa bimbingan belajar karena kegiatan pembelajaran kembali normal, tetapi jika dirunut lebih jauh lagi ini sangat membahayakan.
Memang, jika mengikuti aturan yang diterapkan mengenai pembatasan fisik di dalam ruangan, kelas di dalam bimbingan belajar masih bisa diatur sedemikian rupa.Â
Jika biasanya dalam satu ruangan di kelas saya berisi 5 hingga 6 siswa, maka nanti akan diatur menjadi 2 hingga 3 siswa saja. Tentu, dengan berbagai protokol kesehatan lainnya seperti tempat mencuci tangan, pengecekan suhu, dan lain sebagainya. Jumlah siswa bimbingan belajar yang sedikit memang cukup memudahkan dalam melakukan kegiatan ini.
Tetapi, siswa bimbingan belajar juga berasal dari siswa sekolah yang bisa saja tidak menerapkan aturan tersebut dengan maksimal.Â
Potensi penularan virus covid-19 pun akan sama besarnya dengan di sekolah. Makanya, membuka kegiatan pendidikan dalam waktu dekat bukanlah keputusan tepat.
Sudah menjadi rahasia umum, aturan pembatasan jumlah siswa dalam satu kelas menjadi hal yang sulit dipenuhi. Hampir sebagian besar sekolah di Indonesia merupakan sekolah dengan kelas gemuk. Yang memiliki jumlah siswa lebih dari 20 orang dalam satu kelas.Â
Bahkan, ada banyak sekolah yang memiliki siswa lebih dari 40 siswa. Padahal, sesuai aturan dari Kemendikbud pada masa "old normal", jumlah siswa maksimal adalah 28 untuk SD dan 32 untuk SMP serta 36 untuk SMA.
Kurangnya fasilitas menjadi hal utama yang membuat kelas-kelas di Indonesia menjadi kelas gemuk. Dengan berjubelnya siswa, maka jarak antar siswa dan guru menjadi sangat rapat.Â
Beberapa kelas bahkan tidak memiliki sedikit pun ruang di bagian belakang yang biasanya digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan penting seperti sapu dan alat kebersihan lainnya. Dan tak semua kelas memiliki kotak P3K yang seharusnya juga harus disediakan.
Salah satu cara untuk mengatasi menumpuknya siswa dalam satu kelas adalah memecah kelas. Biasanya, jika sebuah sekolah hanya ada 1 kelas paralel, maka akan dipecah menjadi 2 kelas.Â
Jika sudah ada 2 kelas paralel, maka akan dipecah menjadi 3 kelas dan seterusnya. Pemecahan ini dilakukan selain menjaga kesehatan siswa, juga untuk memaksimalkan pembelajaran.
Nyatanya, memecah kelas tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan bagi sekolah yang sudah memiliki ruangan kosong atau lahan kosong sekalipun.Â
Pengalaman saat mengajar dulu, perlu waktu bertahun-tahun agar sebuah kelas bisa dipecah menjadi kelas paralel. Hambatan utama tentu pada pendanaan.Â
Sekolah saya dulu memang memiliki dua ruang yang tidak berfungsi dengan baik yang awalnya digunakan sebagai ruangan TIK dan laboratorium bahasa.Â
Kalau sekolah mau merombak, itu tidak bisa langsung dilakukan karena termasuk rehab berat. Dana BOS tidak bisa digunakan untuk hak tersebut. Akhirnya, kepala sekolah memutuskan untuk menunggu kegiatan rehab dari Diknas agar dua ruangan tersebut bisa digunakan untuk kelas.Â
Jarak antara permohonan bantuan rehab dengan pelaksanaaan rehab sekitar 2 tahun. Dan selama dua tahun tersebut, siswa kelas 2 dan 3 yang belum dipecah harus melakukan kegiatan pembelajaran dengan jumlah siswa lebih dari 44 anak.Â
Bahkan, pada suatu waktu, karena ada siswa mutasi masuk, ada kelas yang terdiri dari 48 siswa. Sungguh, bisa dibayangkan bagaimana rasanya mengajar dengan siswa sebanyak itu.
Berkaca dari pengalaman ini, memecah kelas paralel bukanlah hal yang mudah dilakukan. Jikalau memaksakan dengan membangun kelas baru, jangan sampai pembangunan tersebut dilakukan dengan tergesa tanpa memerhatikan keselamatan dan kenyamanan siswa.
Faktor pengadaan guru menjadi hambatan lain dalam memecah kelas paralel. Tidak semua sekolah mampu menyediakan guru baru dalam waktu singkat.Â
Saat pertama kali dipecah dulu, 2 guru yang mengajar di tingkatan kelas yang baru dipecah harus merangkap mengajar 3 kelas. Lantaran, guru baru belum didapat.Â
Pembelajaran seperti ini bahkan berlangsung hingga satu bulan. Ada satu guru yang bahkan membuka sekat dua kelas paralel dan menggunakan mikrofon untuk mengajar karena beliau sudah tidak sanggup untuk bolak-balik mengajar dari satu kelas ke kelas lainnya.
Faktor ini juga harus dipikirkan masak-masak. Jika guru untuk kelas paralel baru belum siap, maka membuka sekolah juga sebaiknya tidak dilakukan.Â
Kesehatan para guru juga sangat penting. Terlebih, kalau ada kelas paralel yang belum memiliki guru berada di lantai 2. Mengajar dua kelas sambil naik turun tangga sungguh melelahkan. Tenaga guru terkuras untuk kegiatan ini. Dengan begitu, sistem imun mereka akan lemah dan akan berjatuhan seperti para nakes saat ini.
Meski demikian, pemberlakuan opsi jam belajar ini juga harus memerhatikan kondisi siswa agar tidak membuat mereka tidak bersemangat belajar.Â
Sistem keadilan, semisal siswa kelas rendah masuk pagi dan siswa kelas tinggi masuk siang pada sekolah dasar juga perlu diperhatikan. Apa pun itu, sebenarnya jam belajar siang tidaklah terlalu efektif.
Dalam waktu satu setengah bulan yang tersisa, masih banyak hal yang harus dipersiapkan. Sementara, pihak sekolah bisa mendata dahulu siswa yang cukup rentan tertular penyakit dengan melihat absensi selama ini,Â
Siswa yang sering tidak masuk karena sakit bisa menjadi prioritas dalam menyiapkan "new normal" di sekolah. Mereka perlu mendapat perhatian khusus karena tanpa wabah covid-19 saja, mereka pun mudah sakit.
Begitu pula dengan siswa yang memiliki orangtua, entah ayah atau ibu yang bekerja di luar kota dengan kasus covid-19 tinggi. Siswa seperti ini sangat memungkinkan untuk menjadi sumber klaster penyebaran covid-19 di sebuah sekolah.Â
Edukasi lebih terhadap mereka juga diperlukan agar ketika sekolah dibuka, pihak sekolah bisa menjamin bahwa mereka tidak akan menjadi carier virus covid-19 yang dibawa oleh orangtua ketika mereka pulang ke rumah.Â
Disadari atau tidak, hal-hal remeh semacam ini ternyata cukup sulit dilakukan juga lantaran banyak siswa yang orangtuanya bekerja di luar kota.Â
Di Malang sendiri misalnya banyak sekali siswa yang ayahnya setiap hari pulang pergi Malang-Surabaya atau Malang-Sidoarjo, dua kota dengan jumlah kasus covid-19 tertinggi di Jawa Timur. Apalagi, sudah banyak pabrik atau pun perkantoran di dua kota itu yang memulai "new normal".
Makanya, walau dengan berat hati, membuka sekolah pada pertengahan Juli adalah kebijakan yang tergesa-gesa. Kalau pemerintah bisa menjamin berbagai praktik di lapangan seperti pemaparan di atas bisa dilakukan dengan maksimal, maka tak menjadi masalah.Â
Kalau tidak, maka belajar di rumah entah sampai akhir tahun adalah opsi terbaik. Yang jelas, sampai kasus covid-19 benar-benar bisa dikendalikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H