Bulan Februari dan Maret adalah bulan paling sibuk dalam hidup saya.
Mengurusi usaha yang saya rintis di dua kota berbeda membuat badan terasa lebih cepat capai. Frekuensi menaiki kendaraan umum lebih dari 7 jam secara intens juga membuat saya sering merasa pegal. Maka, jika ada waktu luang, saya selalu menyempatkan untuk melakukan servis pada diri sendiri.
Tak lain dan tak bukan, saya memilih untuk melakukan pelayanan terhadap diri sendiri dengan pijat refleksi. Kegiatan ini sebenarnya merupakan kegiatan rutin bulanan. Saya menganggarkan pemasukan saya untuk pijat refleksi atau pun pijat seluruh badan minimal sebulan sekali. Faktor bertambahnya usia menjadi alasan kuat saya melakukannya. Lama-kelamaan, saya kok merasa ada beberapa organ dalam tubuh saya sudah tak berfungsi secara maksimal. Lambung misalnya.
Uniknya, saya tidak punya langganan tetap pijat refleksi ini. Kadang, saya memanggil terapis dari aplikasi Go-Massage. Namun, kegiatan ini hanya bisa saya lakukan saat di Malang. Jika di Tempel-Sleman, tempat saya sekarang, saya selalu kesulitan mendapatkan terapis. Mungkin, mereka banyak yang melakukan kegiatannya di seputaran Kota Jogja saja.
Saya biasanya datang ke tukang pijat di dekat ruko yang saya tinggali karena sang tukang pijat biasanya memberikan servis lebih. Berupa kerokan di punggung yang membuat badan terasa hangat. Walau secara medis kerokan tidaklah baik, tapi apa daya, mengingat badan saya meriang, maka saya pun melakukannya. Tarifnya murah, hanya 50 ribu rupiah saja.
Kalau sedang berada di seputaran Kota Jogja, maka saya lebih memilih panti pijat yang sudah banyak membuka banyak cabang di beberapa kota. Panti pijat ini sudah saya kenal sejak saya berada di Malang dulu. Bagi saya, terapisnya benar-benar profesional. Mereka bisa mengetahui titik-titik refleksi sehingga meski awalnya rasa sakit yang saya rasakan, tetapi akan berlanjut dengan rasa nyaman kemudian.
Mereka tidak terpaku pada satu titik saja di suatu bagian tetapi menyebar ke bagian lain saat memijat. Berbeda halnya dengan pijat refleksi yang saya rasakan di Mall yang pernah menjamur. Bukannya nyaman, tetapi saya merasa badan saya tambah sakit dan njarem.
Memang tidak semua pijat refleksi di Mall seperti itu tetapi dari beberapa kali mencoba, saya mendapakan kesakitan tersebut. Akhirnya, saya jarang menggunakan jasa ini. Kalau terpaksa, biasanya saya mencari tempat pijat yang ramai oleh pengunjung. Saya coba dahulu pijatan sebentar di kaki untuk mengetes apakah pijatan sang terapis enak atau tidak.
Namun, pijat di Mall memiliki kelebihan. Harganya menurut saya lebih murah dan kadang kita bisa memilih terapis yang akan memijat kita. Tak hanya itu, biasanya ada kupon gratis pijatan setelah kita melakukan beberapa kali pemijatan. Saya juga bisa sekalian cuci mata sembari menunggu terapis selesai melakukan pijatan ke pengunjung lain jika masih ramai.
Nah, diantara bagian tubuh yang dipijat, bagian mana yang paling sakit?
Kalau saya, bagian telapak kaki dan jari kakilah yang terasa sangat sakit. Maklum, dari beberapa literatur yang saya baca, bagian tersebut menghubungkan titik-titik saraf organ tubuh tertentu. Jemari kaki biasanya akan berhubungan dengan saraf otak dan mata. Saat dipijit, rasanya seperti ditusuk. Maklum saja, saya yang menggunakan laptop seharian memaksa kedua organ ini bekerja secara terus-menerus.
Bagian telapak kaki yang sakit adalah titik refleksi lambung. Berhubung saya memiliki riwayat penyakit GERD, maka saat dipijat, saya langsung merasa sakit dan menjerit. Meski tak sesakit bagian jemari kaki, tetapi rasanya hampir sama seperti ditusuk. Kadang, jika terapis bisa menusuk titik ini dengan tepat, saya langsung bersendawa. Beberapa terapis yang paham akan kondisi saya malah memperkuat pijatannya sehingga sendawa saya semakin hebat.
Pernah suatu ketika karena lambung saya masih berontak, selama hampir setengah jam titik saraf lambung tersebut dipijat secara menyeluruh oleh terapis. Ini sesuai permintaan saya sendiri. Oh ya, selain pada telapak kaki, pijatan untuk penderita GERD dan gangguan asam lambung juga terdapat pada telapak tangan yang dekat dengan ibu jari. Saat malam hari, saya juga kerap melakukan pijatan di titik ini untuk menjaga kesehatan lambung saya.
Bagian lain yang cukup membuat saya menjerit adalah bagian punggung. Orang jawa menyebutnya enthong-enthong. Kata terapis saya di Tempel, biasanya bagian ini yang menjadi penyebab masuk angin. Kalau kata terapis di salah satu Mall, bagian ini menjadi nyawa bagi pekerja yang suka duduk lama seperti saya. Ia akan terasa tegang jika tidak digerakkan atau dipijat dalam waktu lama. Inilah alasan saya selalu menjerit saat bagian ini dipijat. Sensasi sakit dan geli bercampur menjadi satu.
Uniknya, setiap terapis menggunakan teknik berbeda untuk memijat punggung.
Ada yang menggunakan uang koin sekaligus melakukan kerokan. Ada yang menggunakan telapak tangan dan ada pula yang menggunakan tekanan jari yang cukup kuat atau sering disebut shiatsu. Biasanya, para terapis akan bergantian memijat bagian kiri dari atas hingga bawah dan berlanjut ke bawah.
Namun, ada pula terapis yang menggunakan sikunya untuk memijat punggung saya. Sungguh, saya pernah menjerit dan mencuri perhatian orang-orang di sekitar saya. Itu belum seberapa. Pernah pula saya diinjak-injak oleh sang terapis dengan perlahan dari atas ke bawah punggung. Ia berpegangan pada dinding ruangan dan telapak kakinya menghujam punggung saya.
Lucunya, saya malah keenakan. Kalau boleh memilih, saya lebih suka diijak-injak daripada dipijat dengan siku. Hanya terapis yang badannya lebih kecil dan kurus yang melakukannya. Jika badannya lebih besar, biasanya ia memberi opsi mau diinjak atau dipijat biasa.
Pijatan biasanya ditutup dengan pijatan kepala dan pundak. Namun, ini hanya bersifat opsional karena ada beberapa pelanggan yang enggan dipijat kepalanya. Kalau saya sih suka-suka saja. Rasanya enak sekali. Pening dan pusing hilang seketika. Apalagi jika pada akhir pijatan ditutup oleh tepukan keras pada punggung. Hmmmm.... dunia serasa surga.
Beberapa tempat pijat biasanya menyediakan minuman ekstra setelah pijatan selesai. Ada jahe, teh rosela, dan air putih. Kalau saya lebih memilih air putih karena akan lebih melancarkan perdaran darah dan memaksimalkan hasil pijatan.
Mengenai waktu terapisan, sekarang saya cukup banyak menemukan panti pijat yang memiliki timer yang cukup akurat.
Terapis biasanya juga membawa serta alat timer yang di-set sesuai pesanan kita. Ia akan berbunyi kala waktu pijatan selesai. Namun, menurut saya waktu ini sangat fleksibel. Saya sering masih mendapat pijatan ekstra saat timer tersebut berbunyi.
Sering pula, terapis tinggal menyeka badan saya dengan air agar lotion yang menempel di badan hilang. Oh ya, panti pijat seperti ini biasanya panti pijat yang berlabel premium. Harganya cukup mahal dan terapisnya hampir tidak memiliki jeda.
Jika saya pijat di Mall atau pun di dekat ruko saya, ya waktunya hanya perkiraan saja. Kadang juga terpotong oleh kegiatan terapis yang mengambil air panas serta mencuci tangan. Ada rupa ada harga sih. Jujur, saya sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan waktu pijatan ini meski di beberapa panti pijat ada peringatan untuk memperhatikannya. Pengunjung pun boleh komplain jika ada pengurangan waktu yang dilakukan terapis atau terapis. Bagi saya yang penting saya bisa enakan selepas dipijat.
Nah, mumpung sedang libur akhir pekan, apakah ada yang ingin pijat? Bagi cerita yuk!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H