Alasannya, dalam kaitannya dengan kompromi untuk hidup berdampingan di sebuah kota, ada dua hal dijadikan patokan. Pertama, mengenai kebebasan individu dalam menjalani aktivitasnya.Â
Kedua, mengenai kepentingan masyarakat bersama yang akan mengekang kebebasan individu. Bagi saya, kompromi dua kepentingan ini harus berada dalam takaran yang tepat.
Jakarta belum menjadi kriteria yang tepat bagi saya. Atau sebaliknya, justru sayalah yang tidak masuk kriteria menjadi warga Jakarta. Saya tidak memiliki ekspektasi tinggi menyamakan Jakarta dengan Kota Singapura.Â
Standar hidup tinggi tidaklah bisa ditukar dengan pengekangan kebebasan individu seperti layaknya di kota singa itu. Tidak mungkin memastikan warga Jakarta satu per satu menggunakan air seperlunya, menggunakan listrik dengan hemat, dan beberapa pembatasan lain.
Namun, ada beberapa hal yang menurut saya tidak didapat warga Jakarta. Kepentingan masyarakat yang menjadi dasar pemenuhan hidup masih belum didapat. Perkampungan kumuh padat penduduk menjadi salah satu buktinya. Bisakah hidup layak di daerah itu?
Perlahan tapi pasti, kompromi mengenai kepentingan masyarakat yang membatasi kebebasan individu untuk kehidupan lebih baik lagi mulai tampak. Aturan ganjil genap pada kendaraan bermotor hingga peraturan tegas dalam menaiki kendaraan umum adalah bukti nyata itu. Pembangunan MRT juga menjadi salah satu bukti bahwa Jakarta mulai menata diri.
Dengan tidak dijadikannya lagi Jakarta menjadi ibu kota, diharapkan kompromi atas dua kepentingan itu bisa dijalankan secara harmoni. Tentu, hampir semua warga Jakarta akan setuju, mereka masih memiliki kebebasan individu yang cukup dan mendapat kepentingan bersama dengan baik.
Bagaimana warga Jakarta menanggapi hal ini?
Selamat Hari Jadi Kota Jakarta! Sukses!