Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kompromi Kebebasan Individu dan Kepentingan Bersama di Jakarta

21 Juni 2019   09:28 Diperbarui: 22 Juni 2019   08:41 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Pancoran. - Dokumentasi pribadi

Tanggal 22 Juni ini, Ibu kota RI merayakan ulang tahunnya yang ke-492.
Sebuah angka yang sudah cukup tua untuk ukuran sebuah kota. Dari beberapa bacaan yang saya himpun beberapa waktu lalu, Jakarta menjadi kota yang diperebutkan silih berganti oleh berbagai kekuatan. Jakarta sempat mengalami beberapa kali penghancuran dan pembangunan.

Uniknya, dalam beberapa waktu terakhir, bukan penghancuran dan pembangunan yang menjadi fokus banyak orang di negeri ini, melainkan statusnya sebagai ibu kota negeri ini yang akan segera diakhiri. Semua mata pun tertuju kepada Jakarta. Bagaimana nasib kota ini saat tak lagi menjadi pusat negeri?

Dalam pandangan saya, sampai kapanpun Jakarta akan menjadi magnet. Terlepas dari statusnya sebagai ibu kota atau bukan, Jakarta akan menjadi parameter keberhasilan kehidupan masyarakat Indonesia. Walau itu tidak pula dijadikan patokan masyarakat, namun persepsi itu tidaklah bisa dikesampingkan.

Kala J.P. Coen membangun puing-puing kekalahan Jayakarta menjadi Batavia, kala itu pula banyak orang yang membangun harapannya dari kelamnya kehidupan di tanah asal. 

J.P. Coen yakin, dengan pembangunan benteng di Kota Batavia, maka ia akan mendapatkan kota ini jauh lebih cantik daripada sebelumnya. Begitu pula kala perantau memantapkan hati mengadu nasib ke Jakarta, saat itu pula mereka yakin kehidupannya akan jauh lebih baik.

Setidaknya ini yang menjadi pro dan kontra beberapa waktu terakhir saat Gubernur Jakarta memutuskan tidak akan melakukan operasi yustisi yang akan menyasar pendatang baru ke Jakarta. 

Berbagai tanggapan miring pun mengalir kepada sang Gubernur. Banyak pihak, terutama orang Jakarta sendiri akan merasa Jakarta lebih sesak lagi dari waktu-waktu sebelumnya.

Lantas, apakah Jakarta memang sudah sesak dan tak layak untuk ditinggali?

Mencoba beberapa hari menjadi warga Kota Jakarta, bagi saya Jakarta sebenarnya memikiki dua sisi yang berbeda. Sama halnya dengan beberapa kota lain di Pulau Jawa, Jakarta memiliki daya tarik yang cantik namun menyimpan pula segudang masalah.

Kala saya berjalan-jalan di taman kota, saya sungguh menikmati sisi menarik dari kota ini. Warga kota yang memiliki kebebebasan individu benar-benar mendapatkan haknya di sana. Mereka berbaur dalam satu harmoni ditemani gedung pencakar langit yang setiap hari seakan menjaga eksistensi Jakarta.

Sebuah taman kota di Jakarta. - Dokumentasi pribadi
Sebuah taman kota di Jakarta. - Dokumentasi pribadi

Ketika saya menaiki Bus TransJakarta, semangat untuk kehidupan lebih baik lagi pun tampak. Para pekerja yang berjalan cepat di sepanjang jembatan penghubung antar halte TransJakarta menjadi bukti. Jakarta adalah daya tarik kehidupan sekaligus menunjukkan sisi lainnya yang keras. Yang hanya mampu dilewati mereka yang memiliki daya juang tinggi.

Penumpang menyesaki Bus TransJakarta. - Dokumentasi pribadi
Penumpang menyesaki Bus TransJakarta. - Dokumentasi pribadi

Di sisi lain, Jakarta menyimpan cerita kelamnya sendiri. Saat saya menaiki ojek daring menuju sebuah tempat, dengan asyiknya melewati gang-gang sempit. 

Sepanjang gang itu, rumah berhimpitan satu sama lain. Menurut sang driver, apa yang saya lewati itu belum ada apa-apanya jika melihat bagian Jakarta lain yang lebih kumuh dan mengerikan. Ya, saya paham hal itu karena sering mendengar dan menyaksikan tayangan di televisi mengenai kemiskinan Jakarta. 

Saya juga kerap mendengar ada sebuah tur singkat yang menuju tempat-tempat kumuh di Jakarta. Tur Kemiskinan Ibu Kota, begitu mereka menyebutnya.

Pengemudi ojek daring melewati jalan sempit di perkampungan padat penduduk. Kalau di Malang/Jogja, melewati daerah seperti ini diharuskan turun. - Dokumentasi pribadi
Pengemudi ojek daring melewati jalan sempit di perkampungan padat penduduk. Kalau di Malang/Jogja, melewati daerah seperti ini diharuskan turun. - Dokumentasi pribadi

Walau sempat ngilu dengan apa yang saya lihat, namun ada satu pelajaran berharga yang saya dapat. Warga Jakarta, yang hidup di gang-gang sempit itu, tampak bahagia dengan kehidupan mereka. Terlepas dari jeratan kehidupan yang sedang mereka jalani, saya hampir tak melihat wajah kusam warga di sana.

Ibu-ibu yang sedang asyik bersenam pagi, anak-anak yang bermain bola, hingga para orang tua yang bercakap-cakap dengan logat "loe gue end". Bagi saya, mereka tampak enjoy aja. 

Padahal, saya sudah mengelus dada kala makan di sebuah warung tegal dan mendapati tagihan makanan saya sebesar 20.000 ribu rupiah dari perkiraan saya yang hanya 12.000 rupiah.

Semua akhirnya kembali kepada preferensi masing-masing orang. Bagi saya sendiri, Jakarta tetaplah asyik untuk dikunjungi jika hanya sekadar berwisata atau menengok sanak saudara. Untuk menjalani kehidupan nyata sehari-hari, rasanya mental saya belum siap.

Alasannya, dalam kaitannya dengan kompromi untuk hidup berdampingan di sebuah kota, ada dua hal dijadikan patokan. Pertama, mengenai kebebasan individu dalam menjalani aktivitasnya. 

Kedua, mengenai kepentingan masyarakat bersama yang akan mengekang kebebasan individu. Bagi saya, kompromi dua kepentingan ini harus berada dalam takaran yang tepat.

Ibu-ibu sedang senam di sebuah kampung di Jakarta Selatan. - Dokumentasi pribadi
Ibu-ibu sedang senam di sebuah kampung di Jakarta Selatan. - Dokumentasi pribadi

Jakarta belum menjadi kriteria yang tepat bagi saya. Atau sebaliknya, justru sayalah yang tidak masuk kriteria menjadi warga Jakarta. Saya tidak memiliki ekspektasi tinggi menyamakan Jakarta dengan Kota Singapura. 

Standar hidup tinggi tidaklah bisa ditukar dengan pengekangan kebebasan individu seperti layaknya di kota singa itu. Tidak mungkin memastikan warga Jakarta satu per satu menggunakan air seperlunya, menggunakan listrik dengan hemat, dan beberapa pembatasan lain.

Namun, ada beberapa hal yang menurut saya tidak didapat warga Jakarta. Kepentingan masyarakat yang menjadi dasar pemenuhan hidup masih belum didapat. Perkampungan kumuh padat penduduk menjadi salah satu buktinya. Bisakah hidup layak di daerah itu?

Perlahan tapi pasti, kompromi mengenai kepentingan masyarakat yang membatasi kebebasan individu untuk kehidupan lebih baik lagi mulai tampak. Aturan ganjil genap pada kendaraan bermotor hingga peraturan tegas dalam menaiki kendaraan umum adalah bukti nyata itu. Pembangunan MRT juga menjadi salah satu bukti bahwa Jakarta mulai menata diri.

Jamaah salat Jumat yang meluber ke tempat parkir di sebuah Mall di Jakarta Pusat. - Dokumentasi pribadi
Jamaah salat Jumat yang meluber ke tempat parkir di sebuah Mall di Jakarta Pusat. - Dokumentasi pribadi

Dengan tidak dijadikannya lagi Jakarta menjadi ibu kota, diharapkan kompromi atas dua kepentingan itu bisa dijalankan secara harmoni. Tentu, hampir semua warga Jakarta akan setuju, mereka masih memiliki kebebasan individu yang cukup dan mendapat kepentingan bersama dengan baik.

Bagaimana warga Jakarta menanggapi hal ini?

Selamat Hari Jadi Kota Jakarta! Sukses!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun