Belum lagi penggunaan tanda tanya, tanda seru, tanda titik dua, dan tanda petik yang tidak pada tempatnya. Banyak ditemukan pula penggunaan kata tidak baku di dalam kalimat. Padahal, pengenalan kata baku dan tidak baku serta penggunaan tanda baca, termasuk salah satu kompetensi dasar muatan Bahasa Indonesia yang juga masuk dalam kisi-kisi soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).
 Maksudnya begini, di dalam pemahaman siswa akan terpatri konsep ilmu bahasa yang salah dan itu tak menjadi masalah. Toh guru-guru mereka juga tak memberi usaha untuk membenarkan kesalahan tersebut. Kebanyakan guru akan senantiasa langsung membahas latihan soal di dalam BKS padahal jelas-jelas siswa mencari jawaban dari bacaan dari BKS. Kalau sudah begini, siapa lantas yang mau bertanggung jawab?
Beberapa masalah mengenai bahan bacaan di dalam BKS juga termasuk tidak konsistennya isi bahan bacaan dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai sehingga bahasan melenceng jauh. Pergantian muatan pembelajaran yang terjadi secara tiba-tiba, dan beberapa masalah lain juga seringkali muncul. Nah, mungkin timbul pertanyaan, mengapa masalah ini kerap terjadi?
Masing-masing tim akan membuat BKS dalam 1 tema. Setiap tema terdiri dari 3 hingga 4 sub tema. Tiap orang akan mengerjakan bahan materi dan soal latihan beserta kunci jawaban dalam satu sub tema. Setiap tema terdiri dari 3 hingga 4 sub tema. Dari tiap tim ini, satu orang akan bertugas mengumpulkan seluruh bahan materi BKS sebelum diserahkan ke pengawas untuk dilakukan penyuntingan. Melihat tahapan ini, sebenarnya ada beberapa tahapan editing yang bisa dimaksimalkan oleh tim penulis BKS.
Penulis BKS juga sering tidak mengindahkan hal-hal teknis seperti penggunaan huruf tebal untuk topik, batasan maksimal 10 kata dalam satu baris, pemberian bingkai/pembatas untuk membedakan kalimat perintah dengan jawaban siswa, struktur kalimat yang jelas, serta kurang memperhatikan perbandingan besarnya huruf dengan gambar pendukung. Yang paling penting, penulis BKS juga harus memahami pentingnya menelaah kembali sumber informasi bacaan terutama dari blog.
Mereka dapat memastikan kualitas bacaan dan isi BKS apakah sesuai dengan standar dan kompetensi dasar yang diharapkan. Jangan sampai ada lagi kasus penarikan BKS akibat kata-kata tak pantas atau hal-hal lain yang mencederai dunia pendidikan.
Padahal sejatinya, keberadaan BKS dari Dinas Pendidikan ini sangat membantu siswa terutama dari kalangan tidak mampu untuk dapat memiliki BKS tanpa dikenakan biaya sepeser pun. Meski begitu, tidaklah pantas jika apa yang gratis bisa menjadi murahan. Kualitas tetap harus diutamakan karena menyangkut masa depan generasi penerus bangsa. Mendapat BKS yang berkualitas juga menjadi hak asasi siswa-siswi dalam memperoleh pendidikan yang baik.Â