Mohon tunggu...
Muhammad Igo
Muhammad Igo Mohon Tunggu... Ilmuwan - mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Papua Merdeka

9 Juni 2021   06:01 Diperbarui: 9 Juni 2021   06:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada hal yang berbeda yang aku rasakan hari ini dan bukan hanya berbeda tapi sangat aneh. Aku sadar dari tidurku sebelum matahari menembus jendela kamarku. Rasanya aku tidak sedang di rumah tapi di tempat lain sepertinya di tenga hutan. 

Aku  membuka mataku perlahan dan mengumpulkan kesadaran secara penuh  seperti biasa. Aku melihat beberapa orang sedang duduk di dekatku, mereka seperti sedang sedang  memasak mengunakan kayu bakar. Mereka bukan orang yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bingung dan bertanya kepada diriku sendiri 'apa yang sebenarnya yang sedang terjadi?'

Akan aku gambarkan begaiaman ciri-ciri orang itu dan keadaan secara jelasnya kepada kalian. Orang yang ada di dekatku saat  itu ada tiga orang dewasa dan dua anak-anak kira-kira berumur 2-3 tahun. Dua anak tersebut sedang digendong oleh dua wanita, aku kira itu ibunya. Sedangkan satu orang duduk di dekat tungku. 

Tubuhku bergetar, jantungku berdebar lebih kencang dan aku bertanya-tanya padat diriku  sendiri 'apa yang sedang terjadi, dimana aku, dan siapa orang-orang ini?' Aku tidak berani bangun dan dan bergerak serta mengluarkan suara  sedikitpun.  Seseorang anak menangis dari pangkuan ibunya dan  tiga wanita yang berasa di situ berisaha menenangkan anak yang sedang menangis tersebut.

Tidak lama setelah itu, terdengar langkah kaki sekelompok orang yang menuju tempat  itu. Seketika masuk beberapa orang laki-laki kekar dan setiap mereka membawa senjata api dan golok. 

Salah satu dari laki-laki itu memerintahkan tiga wanita itu keluar dari sana dengan bahasa yang belum pernah aku dengarkan sebelumnya, namun aku paham setiap kata yang diucapkan oleh mereka dan entah dari mana aku bisa memahami hal itu. Aku semakin ketakutan dan keringat membasahi tuhuhku namun aku tidak berani bergerak sedikitpun. Seketika datang seorang laki-laki yang berkata 'mereka telah masuk ke perbatasan dan pasukan kita siap membunuh mereka dengan satu perintah, Jendral'

Aku semakin tidak paham  apa yang sebenarnya terjadi terutama dengan diriku yang berada di tempat ini. Mereka? mereka yang dimaksud itu siapa, siapa yang memasuki perbatasan dan siap dibunuh dengan satu perintah? Aku semakin gemetaran. Keadaan semakin cerah dan kemungkinan sebentar lagi cahaya matahari akan menyinari tempat ini. Aku harapa keadaan akan berubah ketika cahaya matahari menyinari tempat ini. 

Di luat terdengar jelas ada suara pesawat atau lebih tepatnya mungkin itu sebuah helikopter yang berusaha mendara. Salah seorang melihat ke luar. Aku kembali bertanya kepada diriku 'Pesawat? Ngapain pesawat mendarat di tempat yang seperti hutan ini?' Salah seorang dari mereka bertanya kepada pemimpin mereka.

Seseorang1: Apakah yang kita lakukan ini benar jenderal?

Jenderal: Apa yang kamu tanyakan? Apakah kamu ingin dijajah sama seperti orang-orang terdahulu dijajah oleh orang asing? Katakan. Kita bukan teroris, kita pasukan bersenjata untuk membebaskan tanah ini dari kekuasaan dan politik yang berbelit-belit serta hukum yang tajam ke atas tumpul ke bawah.

Seseorang2: Jenderal, apakah tidak ada cara lain selain mengangkat senjata?

Jenderal: Bisakah kalian semuah bermusyawarah dengan perampok agar tidak mengunakan kekerasan dan membiarkan emas yang kalian miliki tidak diamil?  

Ketua: Apa kalian sudah merasa merdeka selama ini? Berapa banyak orang di tanah kita ini sudah merasakan merdeka? Kita  melakukan ini untuk menjaga tanah kita walaupun apa yang kita lakukan juga dimanfaatkan oleh orang lain, tapi tidak apa-apa yang penting cenderawasi masih memiliki rumah, itu saja.

Semua orang terdiam dan jenderal melnjutkan perkataanya

Jendera: Tentu saja tidak, lihat kebun yang mirip  pohon kelapa di sana. Dulu merupakan lahan perburuan leluhur dan saudara kita yang tinggal di dekat sana. Bisakah tidak kalian temukan  binatang atau berburu rusa dan binatang lainnya di sana, bisakah tidak kalian kalian temukan pohon sagu disana, bisa tidak kalian ambil sagu  yang tumbuh di sana. Itu tanah moyang kita orang? Aku mau kalian ingat ini, berapa yang kalian dapatkan dari setiap emas yang diambil  dari tanah moyang kita ini, adakah mereka berbagi kepada kita? Masyarakat adat dan lahan perburuan kita sebentar lagi akan punah jika tidak ada upaya pertahanan.

Semua orang masih terdiam dan 'Jenderal' itu menghapus air matanya yang sudah tidak tertahan lagi. Keadaan semakin cerah dan aku bisa melihat dengan jelas wajah orang-orang itu. Mereka semua berkulit hitam dan memiliki jenggot dan kumis. Beberapa dari mereka mengunakan pakaian seperti tentara dan beberapa dari mereka mengunakan celana pendek. Semuanya terlihat sedih dengan perkataan dari pemimpin mereka. Salah seorang kembali bertanya kepada Jenderal.

Seseorang3: Kita memang siap menghadapi orang-orang itu, namun bagaiman dengan orang-orang kulit putih yang menyuntikkan dana kepada kita?

Jendera: kalian tidak perlu pikirkan itu, karena untuk mengembalikan uang mereka hanya butuh segenggam emas, sementara bumi kita memiliki jutaan ton emas.

Seseorang yang memakai seragam tentara masuk dan melapor.

Seseorang4: lapor, Jenderal, senjata dan amunisi yang  dibawa helikopter sudah dipindahkan ke markas dan helikopter siap terbang kembali.

Jenderal: terima kasi atas laporanmu dan biarkan helikopter itu kembali dan perketat penjagaan di  markas.

Seseorang4: baik jenderal.

Setelah seseorang itu pergi jenderal kembali berbicara.

Jenderal: Baik, lupakan masalah lainnya dan kita kembali ke permasalahan. Kita harus memberikan perlawanan agar tidak ada yang beperilaku semena-mena dengan tanah dan adat kita. Tanamkan hal itu, karena kemungkinan kalah itu besar tapi setidaknya kita menunda kerusakan terhadap tanah kita. Silahkan laporan masing-masing ketua.

Ketua1: pasukan kami siap untuk mempertahankan tanah dan adat kita.

Ketua2: pasukan kamupun siap.

Ketua3: pasukan kita siap begitupun pasukan lain yang setara.

Jenderal: semoga leluhur merestui kita dan bersiaplah untuk segala hal dan untuk langkah selanjutnya. Aku ingin berpesan kepaa kalian. Jika aku tertembak dan mati maka katakan kepada generasi selanjutnya jangan biarkan harta bumi kita diambil semena-mena.

Keringatku semakin banyak dan membasahi seluruh tubuhku dan aku merasa dinggin. Aku menyelimuti hatiku yang disertai gelisah. Akan tetapi, mereka seakan-akan tidak menggapku ada. Tidak lama setelah perkataan 'Jenderal' itu terdengar suara senjata api secara bertubi-tubi ditembakkan. Seseorang datang ke dalam ruangan tersebut dan berteriak.

Seseorang5: semuanya bersiap, markas kita diserang!

Jenderal: ayo semua kita habisi mereka dan lindungi tanah surga kita. Papua harus medeka.

Suara itu semakin dekat dan semakin banyak senjata yang dilupkan. Selain itu, suara tangisan juga ramai disekitarku. Rasa takut menyelimutikku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bangun dan merangkak ke puntu untuk mengintip apa yang sebenarnya terjadi. Senjata api masih meletup dari kedua belah pihak dan korban berjatuhan di mana-mana serta tanah dipenuhi oleh darah manusia yang tertembak, namun anehnya jarak perperangan itu sekitar lima sampai sepuluh meter. 

Seketika senjata yang dipakai oleh mereka berubag menjadi senjata mainan tapi tetap menimbulkan kematian. Letupan senjata api masih ramai di tengah-tengah pertempuran terdapat dua anak kecil yang belum bisa berjalan  merangkak ke dua mayat dari dua  belah pihak. 

Aku berlari mendekatinya tapi entah dari mana datangnya dan siapa yang menembakkan sebuah peluru yang mengarah ke kepalaku. Dalam hitungan detik aku terjatuh dan sontak  terbangun kembali. Jantungku berdetak sangat kencang dan pakaian ku basah dan badanku kedinginan. Aku menatap ke jendela dan bersyukur aku hanya bermimpi.

Setelah mengatur nafas, aku mengingat kembali mimpiku yang baru saja aku alami. Aku juga melihat beberapa tentara tertembak pada kaki-dan tubuhnya. Aku juga merasakan keberanian di antara mereka, kebanggaan, dan kehormatan untuk mempertahankan serta memperebutkan kedamaian. Air mata dan darah menjadi saksi kesetiaan dan keberanian.

NOTE

"ini hanyalah sebuah cerpen"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun