3) perangkat seperti laptop, komputer, atau gawai yang dimiliki siswa spesifikasinya masih rendah.
Sebagai seorang guru, penulis tentu tidak boleh skeptis dan menyerah melihat keadaan tersebut. Disinilah inovasi dan kreatifitas harus dibuktikan.
C. PEMECAHAN MASALAH
Ketika ada himbauan untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh, maka langkah pertama yang penulis lakukan adalah membuat group whatsapp. Group whatsapp tersebut lebih efektif digunakan sebagai media komunikasi antara guru dengan kelas yang diampunya namun kurang menarik jika digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Sambil mengklasifikasi kendala yang mungkin dihadapi saat pelaksanaan PJJ, penulis mulai bereksperimen dengan mencoba mengaplikasikan beberapa platform learning management system (LMS) secara bergantian. Penulis tertarik terhadap satu LMS yaitu Moodle karena dapat dikembangkan secara mandiri menjadi elearning sekolah. Dengan menggunakan moodle, maka kegiatan pembelajaran jarak jauh bisa terpantau secara real time dan kita juga dapat mendesign kegiatan pembelajaran secara lebih menarik dan interaktif.
Namun akhirnya harapan itu pupus ketika uji coba pertama dilakukan. Siswa tidak dapat mengakses materi dan quiz secara sempurna melalui LMS moodle. Ternyata untuk mengakses LMS moodle memerlukan koneksi internet yang stabil dan smart phone dengan memory minimal 2 GB. Penulis kembali mencoba mengaplikasikan LMS lainnya yang ukurannya lebih ringan. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya penulis menemukan satu aplikasi pembelajaran/kelas maya yang cukup ringan, mudah digunakan, serta memiliki beberapa fitur yang cukup sederhana namun masih bisa digunakan untuk kegiatan pembelajaran jarak jauh dengan moda daring. Aplikasi yang penulis maksudkan adalah Google Classroom.
Tahap awal, penulis mulai membuat kelas maya pada google classroom sesuai dengan kelas yang diampu dan membagikan kode kelasnya. Setiap kelas virtual, penulis lengkapi dengan kategori absensi, materi, tugas/quiz, dan evaluasi. Materi bisa disajikan dalam bentuk ppt, pdf, gambar, maupun video. Selain itu, kita juga bisa menyisipkan link google meet yang bisa digunakan untuk pembelajaran secara sinkronus (tatap muka secara virtual). Sedangkan untuk tugas/quiz dan evaluasi, bentuk soal yang tersedia adalah jawab singkat, uraian, dan pilihan ganda. Barangkali bentuk soal yang tersedia kurang variatif  tidak seperti pada moodle, namun cukup membantu dan memudahkan guru dalam penilaian. Tugas yang dikumpulkan oleh siswa, dapat kita berikan penilaian secara langsung serta umpan balik. Siswa dapat melihat hasil penilaian dan umpan balik dari guru setelah guru mengembalikan tugas/pekerjaan siswa tersebut. Demikian seterusnya, komunikasi tetap bisa dilakukan dengan dua arah namun secara virtual melalui kolom komentar. Kehadiran siswa bisa kita lihat dari rekap absensi. Semua materi, absensi, kuis/tugas, dan evaluasi dapat kita jadwalkan sesuai dengan jam pelajaran tatap muka.
Dua minggu menggunakan Google Classroom untuk menunjang kegiatan pembelajaran jarak jauh, penulis pun melakukan evaluasi terhadap peran aktif siswa dalam PJJ. Hasilnya sungguh mengecewakan. Hanya 52% siswa yang aktif mengikuti PJJ dari total siswa yang penulis ajar. Tentu ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Penulis mulai mencari informasi terkait alasan ketidakhadiran dan keaktifan siswa dalam kegiatan PJJ yang dilaksanakan dengan moda daring. Fakta yang diperoleh adalah bahwa 48% siswa yang tidak mengikuti PJJ tersebut terkendala akibat di sekitar lokasi/rumah meraka tidak tersedianya jaringan internet. Ini memang masuk akal karena sebelumnya penulis telah mengklasifikasi masalah tersebut. Masalah ini tentu tidak dapat penulis selesaikan dengan mengganti Google Classroom dengan aplikasi lainnya karena kendalanya adalah jaringan internet.
Salah satu langkah yang penulis ambil adalah dengan menyediakan media pembelajaran interaktif berbasis digital yang bisa diakses secara offline (tanpa jaringan internet) bagi para siswa yang di sekitar lokasi/rumahnya tidak terdapat jaringan internet. Penulis sengaja tidak memilih buku/LKS sebagai solusinya karena karakteristik siswa sekarang yang dikenal dengan istilah z-generation  jauh berbeda dengan siswa jaman dulu. Siswa sekarang lebih tertarik dengan media berbasis animasi. Media pembelajaran interaktif berbasis digital yang penulis rancang berupa e-Modul (modul elektronik). Modul elektronik atau e-modul ini sendiri dikembangkan oleh Direktorat PSMA sejak tahun 2016. Namun penyusunan e-modul tersebut baru terbatas untuk beberapa KD saja, sehingga guru-guru dituntut untuk merancang e-modul sendiri sesuai dengan KD yang akan diajarkannya. Hasil e-modul Direktorat PSMA tahun 2017 dapat diunduh melalui tautan https://tinyurl.com/emodul2017.
E-modul dapat disisipkan file-file berformat png, gif, mp3, mp4, dan lain-lain. Video yang disisipkan pada e-modul dapat diputar secara offline (tanpa jaringan internet). Di dalam e-modul kita juga dapat menyajikan berbagai model soal seperti pilihan ganda, uraian, jawab singkat, benar-salah, menjodohkan, dan tes isian (fill-in test). Bisa dikatakan e-modul ini merupakan salah satu media interaktif yang dapat meningkatkan aktivitas belajar serta melatih kemandirian siswa khususnya pada pembelajaran jarak jauh.
Secara umum e-modul yang penulis rancang memuat beberapa komponen seperti; cover, daftar isi, glosarium, kompetensi (KD dan IPK), motivasi/apersepsi, petunjuk penggunaan, peta materi, tujuan, uraian materi, rangkuman, tugas, latihan, penilaian diri, evaluasi, kunci jawaban dan pedoman penskoran, daftar pustaka, dan lampiran. Setiap siswa yang memilih moda luring (dengan media e-modul) diberikan panduan dan jadwal yang jelas dalam mempelajari dan menyelesaikan tagihan setiap modul. Hal ini bertujuan agar siswa tetap dapat menyelesaikan setiap KD sesuai dengan program semester yang penulis susun. Laporan e-modul dilaksanakan setiap dua minggu sekali, dimana siswa datang ke sekolah sesuai jadwal yang telah disepakati dengan tetap menerapkan protokol kesehatan covid-19. Pada waktu pelaporan hasil belajar e-modul oleh siswa, penulis juga memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan diskusi terkait berbagai kendala yang dihadapi siswa serta memberikan umpan balik secara langsung. Apabila siswa bisa dengan baik menuntaskan satu e-modul yang diberikan, maka penulis akan memberikan e-modul berikutnya untuk dipelajari dalam dua minggu ke depan.
Siswa yang belajar dengan moda luring tidak diberikan absensi seperti halnya dengan siswa yang memilih belajar dengan moda daring karena seluruh aktivitas pada e-modul telah terukur secara lebih terperinci. Siswa yang disiplin sudah pasti dapat menyelesaikan satu e-modul dalam waktu dua minggu, tetapi bagi siswa yang tidak disiplin akan berlaku sebaliknya. Penilaian sikap juga mudah dilakukan melalui media pembelajaran e-modul.