Konsep pendidikan "sistem bank" membatasi kebebasan peserta didik dan memasukan pengetahuan secara paksa kepada siswa (Iko, 2016). Freire (2005), menyebutkan dalam konsep pendidikan sistem bank, pengetahuan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang mereka anggap tidak mengetahui apa-apa. Mengasumsikan bentuk ketidaktahuan mutlak pada orang lain, dan mencirikan ideologi penindasan, serta meniadakan pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Guru menampilkan diri kepada murid-muridnya sebagai lawan, dengan menganggap mereka bodoh, maka guru membenarkan keberadaannya sendiri. Para murid seperti terasing dalam dialektika.
Pendidikan seharusnya dimulai dengan pemecahan dalam pertentangan antara guru dan murid, dengan mencari jalan keluar pada bentuk permasalahan diantara keduanya. Namun sebaliknya, pendidikan sistem bank menstimulasi bentuk pertentangan tersebut melalui sikap dan praktik bentuk penindasan. Dalam hal ini, guru dengan sistem gaya bank memiliki pandangan yang konservatif, dengan ciri sebagai berikut:
- Guru mengajar dan murid diajarkan.
- Guru tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa.
- Guru berpikir dan murid dipikirkan.
- Guru bicara dan murid mendengarkan.
- Guru disiplin dan sedangkan murid didisiplinkan
- Guru memilih dan memaksa pilihanya serta murid menurutinya.
- Guru bertindak dan murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
- Guru memilih apa yang akan diajarkan dan murid menyesuaikannya.
- Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan menentangnya dengan kebebasan.
- Guru adalah subjek proses belajar dan murid merupakan objek
Paulo Freire dalam Mabruroh (2015), menjelaskan ide-ide pendidikan kritis dengan ciri sebagai berikut. Pertama, pedagogik yang dikemukakan haruslah bersifat pendidikan yang membebaskan. Kedua, pedagogik yang otentik adalah tindakan kultural yang politis. Ketiga, pendidikan tradisional menerapkan metode bank. Prinsip ini sudah sangat terkenal, yaitu suatu cara mendidik atau mengisi fakta-fakta yang harus dihafal oleh peserta didik seperti layaknya suatu bank. Keempat, pendidikan dialogis adalah pendidikan yang menantang masalah-masalah.
Pemikir teori kritis percaya bahwa tujuan-tujuan ini dipenuhi hanya melalui pembebasan orang-orang tertindas yang memberdayakan mereka dan memungkinkan mereka untuk mengubah kondisi kehidupan mereka. Ini sebenarnya adalah titik awal untuk pedagogi kritis. Perhatian utama dalam perspektif pedagogi kritis adalah mengkritik sekolah di masyarakat kapitalis, dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan penolakan terhadap pelanggaran dan diskriminasi.
Pengetahuan rasional seharusnya menjadi sesuatu yang menyentuh realitas secara intelektual, untuk dikejar demi kepentingannya sendiri dan dengan tepat untuk diakhiri dalam wawasan teoretis murni, bukan direndahkan oleh penerapan dalam perilaku. Secara sosial, perbedaan tersebut sesuai dengan kecerdasan yang digunakan oleh kelas pekerja dan yang digunakan oleh kelas terpelajar yang jauh dari perhatian pada sarana hidup (Dewey, 2001).
Ruang Kelas
Pemahaman konteks berpikir kritis dimulai dari ruang kelas, sebagai bagian dari proses pembelajaran. Interaksi guru dan murid dalam kelas menjadi suatu dasar tercapainya tujuan dari pendidikan. Dalam kegiatan pembelajaran, metode pembelajaran yang dipilih menentukkan perubahan peran murid. Murid merupakan objek pendidikan yang harus diubah menjadi subjek dengan karakteristik yang harus dimiliki aktif serta mampu berpikir kritis. Dengan mengubah komponen dan perspektif pendidikan dari bentuk kondisional kehidupan sehari-hari, para murid diharapkan dapat mengubah sesuatu yang berbeda pada dirinya.
Peran guru menjadi hal yang penting dalam proses pembentukan karakter murid tersebut dalam memisahkan penerimaan tanpa syarat pada kondisi keberadaan mereka sendiri. Guru menurut Freire adalah seorang yang berada dalam lingkungan proses pendidikan demokratis mempunyai kepercayaan kepada siswa sebagai indvidu yang tidak hanya mampu mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah. Gurupun belajar melalui dialog dengan siswa. Tak ada seorang mengajar yang lain, dan juga tidak ada yang mengajar diri sendiri. Jadi, fungsi guru di sini adalah sebagai fasilitator bagi siswanya untuk memahami realitas dan dirinya (Sopyan, dkk., 2020).
Setelah tahapan tersebut, maka siswa memiliki perspektif yang berbeda dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Menurut Hall dalam Ali Akbari dan Faraji (2011), bentuk teori dan pengajaran pembelajaran yang diberikan di dalam kelas dapat difokuskan pada konteks sosio-historis dan politik yang lebih besar sebagai suatu identitas sosial bagi penggunanya.
Pembelajaran yang sifatnya transformatif di dalam kelas dapat melibatkan bentik perubahan perspektif. Teori kritis menekankan pada peningkatan kesadaran, tetapi inti pembelajaran transformatif adalah perubahan yang mendalam pada perspektif inti individu dan pandangan dunia yang pada akhirnya membentuk aktivitas dan perilaku (Wang, 2019). Menurut Mezirow dalam Wang (2019), refleksi kritis yang mengarah pada pembelajaran transformatif didasarkan pada standar rasionalitas dan wacana, dan pemikiran kritis dengan demikian "pemikiran berprinsip, idealnya, itu tidak memihak, konsisten dan tidak sewenang-wenang". Mezirow tidak menganggap pembelajaran transformatif bersifat statis dan selalu mengarah pada tindakan emansipatoris sosial. Sebaliknya, Mezirow tertarik pada perspektif individu yang terlibat dalam pembelajaran transformatif.
Pembelajaran ruang kelas mengarahkan pada pendidikan tujuan yang menantang sikap apatis dan penerimaan pasif konten dekontekstual melalui proses penciptaan diri kita sendiri. (Green dalam Muro, 2012). Pembelajaran seni memungkinkan para murid untuk dapat melihat dirinya sendiri lebih baik dibandingkan kontekstual oleh buku teks. Seni yang menarik membuat siswa keluar dari hal yang biasa, tidak menerima begitu saja, dan memaksa mereka untuk bertindak. Seni tidak dapat diprediksi dan menolak hasil yang dapat diprediksi dan diukur yang disesuaikan dengan kompetensi teknologi dan ekonomi. Dibandingkan mendorong siswa untuk menjadi penerima informasi yang pasif, para murid harus aktif dilibatkan untuk membuat konsep ide-ide baru. Seni yang melibatkan kritis mengajarkan murid untuk melakukannya. Guru berperan bukan untuk memberi tahu siswa apa yang penting, tetapi membiarkan mereka memutuskan apa dianggap yang penting.