Konsep pedagogi kritis didirikan oleh beberapa tokoh pendidikan terkemuka, salah satunya adalah Paulo Freire dengan bukunya The Pedagogy of the Oppressed (Pedagogi Kaum Tertindas). Freire merupakan soerang profesor di bidang sejarah dan filsafat pendidikan di salah satu universitas terkemuka di Brasil. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Ia mengalami rentetan peristiwa kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar tahun 1929, sebuah pengalaman kelam yang membentuk rasa keprihatinannya terhadap kaum kelas bawah. Karya-karya Freire selalu mengarah pada penolakan isu radikal yang mengaitkan dengan keadaan masyarakat berdasarkan pembagian kasta sosial.
Freire sendiri jarang menggunakan istilah "pedagogi kritis" untuk menggambarkan jenis filosofi yang digagasnya. Ia justru berkonsentrasi dengan menumbuhkan kesadaran membaca pada orang-orang dewasa di Brasil, untuk kemudian diharapkan dewasa ini mampu menganalisis berbagai permasalahan sosial dan pendidikan. Menurutnya, pendidikan memerlukan implementasi dalam berbagai praktik dan proses yang bertujuan tidak hanya menciptakan lingkungan belajar, tetapi juga perubahan dunia yang lebih baik. Pedagogi kritis berkaitan dengan strategi-strategi instruktif yang diatur oleh pengetahuan pembelajar melalui latar belakang dan pengalaman, situasi, dan lingkungan, serta tujuan pembelajaran yang ditetapkan oleh pembelajar dan pengajar (Sudirman P, 2019).
Pedagogi kritis mengeksplorasi keterkaitan dialogi antara mengajar dan belajar. Dalam pedagogi kritis terdapat suatu proses yang berkesinambungan yang disebut "unlearning -- belajar -- belajar kembali -- refleksi -- evaluasi". Dari proses tersebut diharapkan pembelajar mampu merespon tindakan dari proses belajar. Teori kritis Freire mencoba mengubah orang-orang yang tertindas dan menyelamatkan mereka dari objek pendidikan menjadi subjek otonomi dan emansipasi mereka sendiri. Dalam pandangan ini, siswa mampu bertindak dengan cara yang memungkinkan mereka untuk mengubah masyarakat melalui pendidikan yang bersifat emansipatoris (Aliakbari dan Faraji, 2011).
Melalui masalah pendidikan yang berkaitan dengan tantangan zaman, siswa dituntut untuk belajar dan menyadari permasalahan tersebut dengan pemikiran kritis serta mengembangkan kesadaran untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam penyetaraan keadilan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kessing-Styles dalam (Aliakbari dan Faraji, 2011), teori kritis merupakan respon pendidikan terhadap ketidaksetaraan dan hubungan kekuasaan yang menindas yang ada di lembaga pendidikan.
Paulo Freire menyemangati kritik terhadap model pendidikan sistem bank yang dominan mengarah pada proposal demokratis pada pendidikan problem-posing mengenai peran laki-laki dan perempuan untuk dapat mengembangkan kekuatan mereka dalam melihat secara kritis tentang pandangan hidup mereka, serta merealisasi peran bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas dalam proses transformasi.
Selain Paulo Freire, pendiri teori kritis lainnya adalah Henry Giroux, ia adalah tokoh teori kritis yang berasal dari Amerika Serikat. Di dalam pedagogi kritis, Giroux mengaitkan pendidikan, budaya, politik, media dengan kajian teori kritis. Kajian pedagogi kritis merupakan bentuk pemikiran yang berkembang untuk menyelami fenomena sosial kritik, yang didasari dari teori pendidikan. Bagi Giroux, pendidikan bukan hanya membantu peserta didik untuk menemukan pekerjaan, tetapi juga terlibat di dalam proses pembentukan masyarakat demokratis secara menyeluruh (Wattimena, 2018). Demokrasi dapat terbentuk dengan adanyaa sistem pendidikan yang membantu masyarakat untuk mendalami suatu hal dengan cara pandang kritis, bentu refleksi dan dengan memperluas wawasan, sehingga dari hal tersebut dapat tercipta bentuk tanggung jawab sosial terhadap individu. Giroux mendesak para pendidik agar mengembangkan bahasa pengharapan melawan neoliberalisme dan orang-orang yang terus melawan demokrasi. Para siswa tidak hanya belajar demokrasi, lebih daripada itu mereka berpartisipasi di dalam demokrasi melalui berbicara dan belajar bahasa demokrasi dan kemudian menggunakannya. Hal penting yang ingin ditegaskan oleh Giroux adalah fakta bahwa demokrasi itu belum selesai, itu adalah proyek yang terus-menerus ada dan pendidikan adalah bagian integral dari proyek tersebut (Dami, 2019).
Pendidikan kritis menekankan pada pentingnya perancangan sebuah kurikulum yang akan digunakan. Menurut Apple dalam Oklidiana dan Tajri (2020), kurikulum tersebut bukan hanya sekedar sebuah pencapaian akademik semata, tetapi merupakan sebuah landasan dari aspek epistemologis, ideologis, ekonomis, estetika, etis, historis dan teknis. Pada dasarnya, pendidikan kritis menjadi suatu dasar untuk penciptaan lembaga pendidikan yang menjadi wadah yang dapat memberdayakan dan mengembangkan masyarakat itu sendiri. Seringkali, pendidikan kerap kali jatuh pada birokasi dan formalisme agama yang membunuh kebebasan dan kreativitas (Wattimena, 2018).
Dinamika perubahan kurikulum yang didasari oleh kepentingan politik menjadi satu hambatan yang dapat menggeserkan tujuan pendidikan itu sendiri. Filosofi kurikulum yang berbeda, merupakan tantangan tersendiri pada perkembangan aspek kognitif peserta didik. Menurut Sulthon (2014), setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan, yaitu kepentingan peserta didik, kondisi satuan pendidikan dan masyarakat serta peranan para pengembang kurikulum terutama guru. Ketiga komponen tersebut harus saling berperan dan memiliki keterkaitan dalam menerima fleksibilitas dan metode pendidikan untuk berkembangnya gaya pendidikan dengan menekankan aspek teori kritis.
Dalam pandangan McLaren, pendidikan kritis secara revolusioner menggunakan dunia secara reflektif untuk mewujudkan praxis transformasi pengetahuan melalui kritik epistemologis. Kritik epistemologis bertujuan bukan hanya untuk membongkar representasi-representasi pengetahuan, tapi juga untuk mengeksplorasi bagaimana dan mengapa produksi pengetahuan representasi itu terjadi. Dengan kata lain, pendidikan kritis tidak hanya meneliti isi pengetahuan tapi juga metode produksinya. Melalui kritik epistemologis tersebut, Mclaren sebenarnya mengidealkan produksi pengetahuan yang dapat diperankan oleh baik peserta didik maupun pendidik bersama-sama (Waseso, 2016).
Sistem Bank
Meskipun telah berkembang pada beberapa metode dan perubahan kurikulum, pendidikan zaman modern sekarang masih menerapkan konsep kurikulum subyek akademik. Kurikulum ini lebih menekankan materi yang bersumber dari disiplin ilmu (Sulthon, 2014). Kurikulum ini menjelaskan bahwa belajar merupakan proses mendapatkan ilmu dengan sebanyak-banyaknya. Sehingga, muncul istilah konsep belajar sistem bank.