"Papa bisanya ngeles terus kayak bajai, dan selalu itu saja yang papa katakan. Mama juga ingin seperti emak-emak yang lain tetap terlihat cantik dan seksi paa, ingin punya baju model terbaru. Pokoknya mama kesal sama papa." Ceu Uneh cemberut, sambil duduknya bergeser menjauhi suaminya.
"Dengar dulu maa, papa tuh mencintai mama apa adanya bukan ada apanya, biarpun mama gak glowing lagi dan gak seksi lagi, papa tetap sayang kok." Kang ikin mencoba memeluk pinggang istrinya.
"Alaah bohong paa, dimana-mana suami tuh sama saja. Giliran melihat yang cantik dan seksi matanya gak mau ngedip. Kalau istri mau tetap cantik ya dimodalin paa butuh perawatan."
Ceu Uneh bangun dari duduknya dan pergi menuju kamar, ia tidur berselimut menghadap tembok. Di luar terlihat hujan, kang Ikin mematikan TV dan bergegas ke luar mengangkat jemuran dan menyimpannya dikeranjang pakaian di pojok kamar. Kemudian ia pun ikut rebahan menghadap langit-langit kamar sambil menggigit jari telunjuk.
Ia tahu betul watak ceu Uneh yang lahir hari Minggu yang menurut perimbon dulu kalau perempuan weton Minggu selalu ingin diperhatian meskipun terkadang suka keras hatinya. Sampai malam ceu Uneh tidak bertegur sapa dengan suaminya, dan kang Ikin pun tak mengambil hati atas sikap istrinya, ia menyadari namanya juga emak-emak ya wajarlah bila kadang muncul rasa kesal kepada suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H