Mohon tunggu...
Muhammad Riedzky Akbar
Muhammad Riedzky Akbar Mohon Tunggu... Pelajar -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Ospek dan "Kemajuan Bangsa"

23 Agustus 2015   13:47 Diperbarui: 23 Agustus 2015   13:47 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*orang dewasa datang melihat jasad anak itu dari pinggir jurang kemudian berteriak*

Orang dewasa: Tuh kan! Gua bilang juga apa?! Pasti jatuh kan! Jatuh!

*tamat*

Seperti itulah ibarat senioritas yang terjadi di dunia pendidikan indonesia. Baik dari senior kepada junior, maupun terkadang oleh birokrasi kampus sekalipun. Seharusnya hal itu bisa dicegah, kalau seandainya sudah tau kalau nanti ada yang salah itu ya diingatkan atau jika sulit itu di tuntun lah bahasa halusnya. Tapi kenyataanya terjadi pembiaran dan menunggu kesalahan seperti yang terjadi pada permisalan di atas. Saya tidak mau berpanjang lebar mengenai hal-hal apa saja yang biasanya disalahkan, namun saya hanya ingin memberikan satu wejangan yaitu, Lakukan dengan Benar. Karena yang baik belum tentu benar dan begitu pula sebaliknya. Yang namanya di birokrasi itu kita selalu dituntut untuk benar, meski terkadang hal yang benar itu tidak baik, namun kita harus tetap ikut sesuai prosedur dan aturan. Hal itu lah yang menjadi patokan dasar bagi yang bekerja di pemerintahan dengan birokrasi yang kusut. Kenapa kusut? Ya kembali lagi karena sejak awal, bahkan oleh ospek ini sudah diajarkan hal yang seperti itu. Dan hasilnya pun sama akan seperti itu pula. Itulah sebagian kecil dampak ospek terhadap kemajuan bangsa indonesia.

Kemajuan Bangsa, itu serius berpengaruh?

Kalau masih belum yakin dengan hal diatas, mari dalami masalah ini dengan spesifik supaya gak terlalu panjang. Oke sebelumnya mari kita lirik beberapa ospek atau masa orientasi yang dilakukan di luar negeri khususnya di negara-negara maju. Dari sepengetahuan saya, di eropa dan amerika sana mahasiswa baru diajak melakukan perkenalan dengan sesama mahasiswa baru dengan diisi acara-acara yang menarik dan menghibur. Dan disana tidak ada hukuman yang memberatkan maupun kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Lain halnya dengan yang terjadi di indonesia, ya mungkin sudah tidak ada kontak fisik lagi, tetapi kekerasan psikis baik berupa makian dan omelan dari senior masih selalu ada. Mungkin kalau kata mereka hal itu bertujuan agar yang di maki-maki itu lebih disiplin, lebih kuat mentalnya atau alasan-alasan lainnya. Namun sekali lagi hal itu tidak dapat dibenarkan. Karena saya lebih tahu banyak tentang psikologi, berdasarkan pengalaman dan pengelihatan dari berbagai macam aspek. Kalau masalah orang di bentak / di maki oleh seniornya itu agar mentalnya lebih kuat. Saya rasa itu salah. Justru hal itu akan menurunkan kondisi psikologis orang tersebut. Dan namanya kondisi psikologis itu tidak terbaca langsung, mungkin orangnya terlihat biasa saja namun dalam hatinya itu sedang menjerit. Dan kemudian muncul lah pemikiran dari dalam diri orang tersebut untuk melakukan hal yang sama atau dalam kata lain balas dendam terhadap angkatan berikutnya. Hal inilah yang memicu terjadinya aksi senioritas dan bullying secara terus menerus, tiap tahun dan selalu berulang.  Itulah yang membuat ospek itu menjadi sebuah lingkaran setan yang didalamnya selalu terjadi kejahatan yang berulan-ulang.

Sekarang ayo kita bandingkan itu semua. Di negara barat, atau gak usah jauh-jauh lah, cukup di negara maju, itu dari dulu tidak ada aksi perpeloncoan yang dilakukan oleh senior ke juniornya terutama pada masa orientasi. Dan hasilnya apa? Negara mereka maju, dan semua warganya itu bisa dikategorikan cerdas dan mempunyai etika. Sedang di negara kita? Saat orientasi dijadikan sebagai ajang perpeloncoan, dengan alasan mentalnya supaya kuat lah, atau supaya mempunyai etika lah. Kalau masalah etika, yang tidak dididik dengan cara keras saja bisa memiliki etika yang baik kok, justru yang dididik dengan cara keras ini akan mewariskan hal yang sama, berupa etika yang tidak sesuai, etika yang senior harus tunduk kepada junior meskipun itu salah. Yang namanya manusia, apapun itu pasti akan direkam dalam otaknya dan ada kemungkinan untu ditiru/melakukan hal yang sama. Terakhir, saya ingin benar-benar membandingkan semuanya. Di negara maju sana tidak ada aksi perpeloncoan dan kekerasan ketika orientasi dan hasilnya pun bisa mencetak warga masyarakat yang berkualitas dan memiliki etika. Sedangkan indonesia sekarang meskipun tidak ada kekerasan lagi namun masih ada sedikit rasa perpeloncoan ketika orientasi saat ini sudah terlihat tercetak masyarakat yang lumayan berkualitas dan ada sedikit rasa budi perkerti meskipun masih kalah dengan negara maju. Daripada saat dulu indonesia masih menerapkan ospek dengan kekerasan dan perpeloncoan, hasilnya pun sudah dirasakan bahwa masyarakat yang dicetak itu tidak berkualitas. 

Nah kalau sekarang melihat ospek tanpa perpeloncoan dapat menghasilkan generasi yang berkualitas, dan sedikit perpeloncoan menghasilkan generasi yang lumayan berkualitas, apalagi dengan kekerasan yang menghasilkan generasi yang tidak berkualitas sama sekali. Ya harusnya kalau sudah jelas seperti itu kita seyogyanya bisa menghilangkan perpeloncoan sama sekali kalau perlu sampai hilang dari kamus agar dapat mencetak generasi yang berkualitas supaya bangsa ini semakin maju dan tidak kalah dengan bangsa lain apalagi negara tetangga.

Kalau anda pilih mana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun