Suatu hari ketika saya melakukan riset, saya duduk termanggu sendirian sambil memandang hamparan hutan Leuser yang luas. Sesekali terdengar sayup gemericik arus sungai alas dari kejauhan.Â
Hari itu menjadi hari yang sangat berarti buat saya, Hari di mana semua pertanyaan yang bergejolak dalam benak/batin saya serta pesan dan harapan masyarakat adat dalam seminar yang saya ikuti itu seakan terjawab sudah dengan sendirinya.
Sampai kemudian saya dewasa hingga sekarang kerusakan hutan semakin parah. Luas hutan berkurang hampir lebih dari 60 % untuk Sumatera saja.
Dari data-data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa luas hutan Sumatera yang masih bagus paling tidak hanya sekitar 30 % dari luas seluruh Sumatera
Kemudian saya berfikir lagi, terkait media massa nasional yang dalam beberapa minggu terakhir khususnya saat menyambut Hari Hutan Indonesia yang jatuh pada 7 Agustus, memberitakan banjir besar yang terjadi di Aceh hingga Papua.Â
Kejadian banjir besar seperti ini seringkali dikaitkan dengan kerusakan hutan. Kaitan tersebut membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan, benarkah kerusakan hutan mengakibatkan banjir bandang? Atau kerusakan hutan terkait dengan manajemen pengelolaan yang diterapkan oleh pemerintah?
Tiba-tiba lamunan dan pikiran saya tersadar oleh kedatangan seorang bapak bersama seorang anak kecil. Wajahnya sepertinya tidak asing bagi saya.Â
Betapa tidak, bapak itu adalah salah seorang peserta dan nominator penerima kalpataru dalam acara seminar yang saya ikuti waktu itu. Bapak itu juga katanya melihat dan memperhatikan saya saat acara tersebut.Â
Sang bapak bernama Ibrahim ini adalah seorang masyarakat desa pemangku/komunitas adat penyelamat lingkungan hutan leuser yang tinggal di Desa Ketambe di anak Sungai Alas kawasan ekosistem Leuser Aceh Tenggara. Beliau sangat bersyukur menjadi nominator walaupun tidak menang.