Berbicara tentang kasih dan perjuangan seorang ibu, rasanya tidak akan ada manusia yang bisa menandingi. Bahkan mungkin pasangan hidup kita sekali pun. Mengingatkan kita akan sebuah lirik lagu yang diciptakan oleh SM Muchtar berjudul Kasih ibu,
“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali, Bagai sang surya, menyinari dunia”
Kasih dan perjuangan ini juga terlihat pada sesosok perempuan yang saya temui di sebuah persimpangan jalan lampu merah di kota Banda Aceh. Dialah Aisyah , perempuan berusia 45 tahun yang berprofesi sebagai penjual Koran. Dengan profesinya ini, ternyata ia mampu melindungi masa depan anak-anaknya yang berjumlah enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan.
Sambil memegangi tumpukan koran, ibu Aisyah tampak tersenyum ketika saya menemuinya. Sama seperti senyumnya ketika ia menyodorkan koran yang ia jual kepada para pengemudi kendaraan yang berhenti ketika lampu merah jalan menyala.
Setelah mengetahui maksud kedatangan saya, cerita demi cerita pun teruntai dari mulutnya. Ia bercerita lepas, seakan-akan ia telah lama mengenal lawan bicara-nya. Tampak tak ada beban di wajahnya.
Ibu Aisyah berasal dari kota Lhokseumawe Aceh Utara. Sudah dua tahun ia menetap di Banda Aceh, di kawasan Jambotape. Setiap hari kecuali hari libur ia berjualan Koran di Simpang Surabaya Banda Aceh, satu kilometer dari tempatnya menetap, dari pukul 06.00 pagi sampai pukul 12.00 siang.
Aisyah mengaku merasa senang dan tak ada beban melakukan pekerjaan yang notabene banyak dilakukan oleh kaum adam. Ia mengaku telah menggeluti pekerjaan sebagai penjual atau loper koran selama satu setengah tahun, tanpa merasa risih dan malu. Ia tetap percaya diri dan semangat melakukan pekerjaannya.
Dalam sehari, Aisyah mengambil 100 ekslempar koran. Jika habis ia akan mengambil lagi. Kadang-kadang korannya laris, namun kadang-kadang juga tidak. Namun ia tetap semangat.
“Kenapa ibu begitu bersemangat melakukan pekerjaan ini?” tanyaku
“Ini saya lakukan agar anak-anak saya bisa sekolah,” jawabnya.
Jawaban diplomatis dari ibu Aisyah ini menunjukkan bahwa pendidikan begitu penting bagi anak-anaknya.
“Saya menyesal, kenapa dulu saya tidak sekolah, walaupun katanya jangan sesali apa yang telah terjadi, tapi saya tetap merasa menyesal,” ujar Aisyah dengan raut wajah tampak sedih.
“Kenapa bisa timbul penyesalan itu bu?”
“Sekarang saya baru sadar, untuk mendapatkan nasib yang baik di masa depan, kita harus sekolah, punya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan hingga jadi orang yang berhasil, saya percaya itu,” ujarnya.
Aisyah bertekad menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi, supaya lebih baik dari dirinya. Anak-anaknya-lah yang menjadi penyemangat bagi dirinya dalam mencari nafkah. Dan beliau berprinsip bahwa pekerjaan apapun dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin dan yang penting halal.
“Ya memang jarang ada perempuan yang mau jualan koran, tapi saya merasa lebih baik bekerja seperti ini dari pada mengemis,” kata Aisyah lagi dengan matanya menerawang jauh ke depan.
Prinsip yang dianut dan apa yang diucap oleh ibu Aisyah pun membuka pikiran dan hati saya, bahwa sangat langka perempuan yang berprinsip dan berpikiran seperti Aisyah. Karena kenyataannya sangat langka kita temui perempuan yang mau jualan koran, namun mirisnya malah ada kaum perempuan yang mengemis meminta belas kasihan orang.
“Suami mana bu?” Tanyaku lagi
“Suami saya sama seperti saya, ia juga berjualan koran di persimpangan jalan lain, ia pergi bersama rekan-rekannya sejak pagi. Namun malam harinya kami bersama berdua berjualan balon demi menambah pendapatan. Semua ini kami lakukan untuk anak-anak dan demi masa depan mereka juga,” ujar Aisyah dengan nada mantap.
“Berapa sih penghasilan yang ibu dapat sehari-hari?”
“Soal rejeki tidak bisa diperkirakan ya dik. Rata-rata penghasilan saya per hari Rp. 40.000 dan sering juga orang-orang tidak mau menerima uang kembalian. Bahkan ada yang memberi saya sumbangan baju, uang hingga sampai Rp. 500.000. Dan ada pula yang kasih beras. Ada saja sedekah dari orang, apalagi bulan puasa,” ungkap Aisyah sambil sedikit tersenyum.
“Kalau dari jualan balon?”
“Dari jualan balon, rata-rata penghasilan kami Rp. 50.000/hari.”
“Anak-anak gimana sekarang bu?”
“Anak saya yang sulung sekarang telah berusia 32 tahun dan alhamdulillah telah mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Sedangkan yang bungsu, kini telah berusia 15 tahun dan duduk di bangku SMA,” kata Aisyah tersirat kebanggaan dalam ucapannya.
Ibu Aisyah pun merasa senang dan bersyukur memiliki anak-anak yang rajin sekolah, rajin belajar, sehingga nilai-nilainya pun bagus.
“Mereka sangat bersemangat mengejar cita-cita,” ujar Aisyah lagi sambil tersenyum.
Selain menyekolahkan anak-anaknya, Aisyah juga menyuruh anak-anaknya mengaji. Menurutnya, ilmu dunia juga harus dibarengi dengan ilmu akhirat. Karena lagi pula dirinya juga sempat pernah menimba ilmu di tempat pengajian, sehingga sedikit banyaknya ia mengertu masalah agama.
Aisyah juga mengatakan bahwa di kampungnya masih banyak perempuan yang bernasib sama seperti dirinya. Bahkan sebagian di antara mereka hanya berpangkutangan tanpa melakukan apapun. Soal pendidikan, malah ada juga yang buta aksara karena tidak sampai menamatkan sekolah dasar.
Aisyah berharap agar mereka diberi dorongan dan dapat sekolah setinggi mungkin agar anak-anak yang dititipkan Tuhan kepada kita nantinya, terlindungi masa depan-nya dan kita pun tidak ada penyesalan di kemudian hari.
“Masa depan anak sangatlah berharga, siapkan dari sekarang bagaimanapun kondisi kita. Jangan sampai kita tidak mempersiapkannya dari sekarang, tapi malah merusak kehidupannya kini dan nanti. Dan penyesalan selalu timbul belakangan,” ujar Aisyah seraya mengingatkan dan memberi pesan.
***
Aisyah adalah seorang penjual Koran, namun ia tak menyerah dalam menjalani kehidupan bersama anak-anak-nya. Kondisi ekonomi keluarganya yang tidak mendukung, membuat ibu Aisyah harus mengenyam pendidikan hingga sebatas tamat sekolah dasar saja.
Namun ia tidak mau anak-anaknya bernasib sama dengan dirinya. Ia dan suami terus bertekad menyekolahkan anak-anaknya dengan uang yang didapat dari jualan koran dan balon. Dengan keteguhan, ketekunan dan semangat pantang menyerah, Aisyah bersama sang suami ternyata mampu mensejahterakan dan menyekolahkan anak-anak mereka sampai perguruan tinggi.
Moga dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk lebih giat dan tekun dalam melakukan banyak hal, seperti bekerja dan belajar. Bu Aisyah saja yang seorang penjual Koran dan balon mampu menyekolahkan dan melindungi masa depan anak-anaknya, apalagi kita yang mungkin secara ekonomi dan sosial lebih dari bu Aisyah. Intinya adalah keyakinan, keteguhan dan semangat yang pantang menyerah, bagiamana pun kondisi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H