“Dulu aku bekerja dengan niat atau motif pengabdian dan idealisme yang tinggi, motif ini menimbulkan motivasi yang besar untuk selalu ikhlas dalam bekerja dengan tujuan utama mengabdi pada lembaga serta mengharapkan ridha dari Allah sebagai penambah bekalku kelak. Motif atau niat ini juga menghasilkan energi positif yang dapat menjadi tenaga yang kuat dalam menghadapi tantangan dan ketika keberhasilan-keberhasilan kerja mulai terwujud, ada rasa bahagia yang keluar dari hati yang benar-benar tulus tanpa pamrih. Niat atau motif ikhlas inilah yang mulai terkikis dalam jiwaku akhir-akhir ini,” ujar beliau kembali panjang lebar.
Melihat kondisi yang terjadi sekarang, terutama pada anak-anak didiknya, beliau-pun menyadari sekarang, selama ini beliau bekerja hanya mengejar prestise alias gensi, bekerja hanya untuk mempertahankan image dan takut akan masalah, terlalu berhati-hati dan cenderung kaku. Beliau menjadi jiwa yang terbelenggu kreativitasnya oleh kondisi ataupun realitas yang terjadi saat ini, termasuk yang beliau ciptakan sendiri. Arah yang beliau tempuh tidak jelas dan kehilangan akan diri yang sebenarnya. Beliau pun merasa seolah-olah hanya mengikuti arus dan ini semua karena niat ataupun motif yang mulai tidak tepat.
“Sebelum berdampak lebih besar dan kesalahan ini menimpaku lebih jauh, niatku akan saya perbaiki dimulai dengan keikhlasan tanpa pamrih, karena hanya dengan rasa ikhlas jiwa akan tenang dalam bekerja. Keikhlasan yang memberi semangat mengabdi, yang membuat hidup harus dijalani seperti air mengalir, terus maju dan berusaha serta berserah diri pada yang kuasa”, ujar ibu ini mengakhiri obrolan karena berhubung waktu mengajarnya di kelas sudah tiba.
Filosofi Ki Hadjar Dewantara Titik Terang Pencariannya Selama Ini
Beliau rupanya mempersingkat jam mengajarnya dari dua jam menjadi satu jam saja berhubung saya datang.
“Ah! Saya jadi nggak enak ni bu, jadi mengganggu waktu mengajar ibu saja.” Kataku.
”Ngak apa-apa, kan nak Iwan cuma hari ini saja datang ke sini, jadi pertemuan kita ini harus betul-betul dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan informasi akan sekolah ini selama ini.”
Obrolan kami-pun berlanjut kembali. Saat saya menyinggung mengenai lokasi sekolah yang cukup jauh dari kota, yakni membutuhkan sekitar 20 kilo meter lebih perjalanan dari kota Meulaboh, pusat pemerintahan Aceh Barat berada, bagi Ibu Cut Erna bukan masalah, karena disinilah tempat ia mengabdi, berdidikasi untuk negeri, tempat ia merubah nasib anak-anak yang sebagian besar berasal dari keluarga petani dan nelayan.
Ngomong-ngomong tentang dedikasi dan perubahan, buk Cut yang juga sebagai putri daerah merasa terpanggil untuk menyelamatkan anak-anak murid di kampungnya dari ketergantungan game play station (PS). Waktu itu beliau teringat akan sosok tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1930 melalui bukunya “Sekolah Taman Siswa”. Lembaga pendidikannnya diberi taman, dalam artian menjadikan sekolah sebagai taman bermain.
Melihat kondisi yang prihatin tersebut, bu Cut Erna pun belajar dari filosofi yang dibuat bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya. Dengan menjadikan sekolah sebagai taman bermain, situasi pembelajaran lebih nyaman dan menyenangkan, peserta didik akan selalu ketagihan untuk sekolah dan belajar.