Ibu ini berangkat ke sekolah seperti biasa, sekitar jam 7 pagi. Jalanan yang ia lalui juga jalan yang sama yang setiap hari ia lalui selama tiga tahun terakhir ini. Setelah menempuh perjalanan dengan berkendaraan selama dua puluh menit, maka sampai di sekolah pada pukul 07.20. Seperti hari-hari kemarin, rutinitas yang beliau lakukan adalah menyambut siswa di pintu gerbang dan bersama para guru ikut memantau siswa dalam kegiatan pagi hari, seperti senam pagi, membaca surat-surat pendek, membaca Asmaul Husna, Kultum siswa dan kegiatan lain yang menjadi kegiatan rutin sekolah ini. Kegiatan beliau selanjutnya juga seperti kegiatan hari-hari sebelumnya, yakni menyelesaikan administrasi, memeriksa surat masuk dan surat keluar, melihat agenda atau jadwal pertemuan rutin yang telah disusun, mengikuti rapat-rapat ataupun pertemuan kelompok kerja dengan volume 2 atau 3 kali sebulan. Semua kegiatan ini beliau sesuaikan dengan perencanaan yang telah dibuat bersama dengan para guru.
Seperti yang telah dijadwalkan dalam program kerja, setiap akhir bulan sekolah ini melakukan rapat kerja bulanan dengan tujuan mengevaluasi hasil kinerja pada bulan sebelumnya. Seperti biasa juga, ibu ini mengarahkan beberapa hal untuk para guru dan staf, memotivasi mereka untuk bekerja optimal dan menganalisa hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang belum memuaskan ataupun yang belum mencapai target. Terselip dibenaknya bahwa sebagai seorang pimpinan banyak tugas yang menantang dan harus diselesaikan. Beliau sadar keberhasilan sekolah yang dipimpinnya sangat dipengaruhi oleh kemampuannya.Perlahan-lahan berbagai strategi mulai beliau terapkan terutama yang berkaitan dengan peningkatan proses pembelajaran, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) pendidik dan pengembangan bakat dan minat siswa. Berbekal ilmu dan pengalaman yang dimiliki, beliau terus bekerja, walaupun ia lebih merasa bahwa semua itu adalah kewajiban dari tugas yang harus dilakukan.
Ibu ini juga mengajar di kelas dengan enam jam pelajaran, baginya ini adalah satu-satunya tugas yang ia jalani dengan sangat menyenangkan. Dalam seminggu ada beberapa jam yang beliau isi juga dengan mengajar di sebuah perguruan tinggi pada sore hari,
“Ini sebagai salah satu cara untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan intelektual saya,” ujarnya.
Setelah hampir 15 tahun masa kerja, beberapa penghargaan telah diraihnya, namun beliau mengaku masih merasa belum berharga, terlebih akhir-akhir ini, beliau kerap mendapatkan murid-murid-nya, anak-anak (peserta) didik-nya menghabiskan waktu di tempat permainan atau play station(PS).
“Bukan hanya terpengaruh game, tapi kecanduan mereka terhadap play station(PS) bukan sekadarnya, tapi sudah mengarah dan merasuk pada hal negatif hingga meresahkan para orang tua mereka,” ungkapnya dengan tampak ada beban di wajahnya.
Apa yang terjadi ini ternyata mempengaruhi mood dan emosi beliau, dan merasa kian tak berharga sebagai seorang pimpinan. Pekerjaan yang ia lakukan hanya dijalaninya sebagai rutinitas semata walaupun ada target yang dibuat dan dikejar. Anehnya lagi bila target tercapai, beliau hanya merasa puas sesaat dan kembali hampa serta tidak ada sensasi yang membangkitkan semangatnya.
Berhari-hari, bahkan dalam hitungan bulan beliau merenung dan berfikir, apa yang salah dengan pilihan hidupnya sebagai seorang guru? Apa yang salah dengan proses pembelajaran di sekolah yang dipimpinnya? Apa yang salah dalam pengembangan bakat dan minat para muridnya?
Cita-cita yang ia kejar dengan segenap kemampuan, yang ia raih dengan perjuangan dengan melewati berbagai rintangan karena kondisi hidup telah menempanya untuk berjuang, namun sekarang apa yang terjadi? Beliau merasa seolah-seolah tidak berjuang lagi, tidak ada lagi sensasi kebahagiaan ketika ini dijalani. Ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, yang beliau sendiripun tidak tahu itu apa.
“Pernah di suatu malam saya tidak dapat memejamkan mata, yang terdengar hanya suara jangkrik berpadu dengan keheningan malam. Kulakukan introspeksi diri, mengenang kembali hari-hari yang telah terlewati, masa-masa penuh semangat pada sepuluh tahun pertamaku sebagai guru, dimana kreatifitas dan sejuta energi selalu kusiapkan dalam menghadapi tantangan dalam bertugas,” cerita beliau.
“Masa-masa itu kujalani dengan semangat dan motivasi yang tinggi. Banyak keberhasilan yang kuraih, terutama ketika anak-anak didikku berhasil, aku merasa sangat bahagia. Kurenungi dan kutelusuri bahwa pada masa-masa itu segala target yang kubuat, baik untuk diriku dan anak didikku sebahagian besar dapat tercapai walaupun itu bukan tujuan utama dalam bekerja. Lalu kutemukan titik terangnya yang menjadi pencarianku selama ini, yang mulai hilang dalam jiwaku sekaligus menjawab pertanyaan dari kegelisahan ataupun kekhawatiran batinku,” lanjut beliau dengan sedikit menitikkan air mata.
“Dulu aku bekerja dengan niat atau motif pengabdian dan idealisme yang tinggi, motif ini menimbulkan motivasi yang besar untuk selalu ikhlas dalam bekerja dengan tujuan utama mengabdi pada lembaga serta mengharapkan ridha dari Allah sebagai penambah bekalku kelak. Motif atau niat ini juga menghasilkan energi positif yang dapat menjadi tenaga yang kuat dalam menghadapi tantangan dan ketika keberhasilan-keberhasilan kerja mulai terwujud, ada rasa bahagia yang keluar dari hati yang benar-benar tulus tanpa pamrih. Niat atau motif ikhlas inilah yang mulai terkikis dalam jiwaku akhir-akhir ini,” ujar beliau kembali panjang lebar.
Melihat kondisi yang terjadi sekarang, terutama pada anak-anak didiknya, beliau-pun menyadari sekarang, selama ini beliau bekerja hanya mengejar prestise alias gensi, bekerja hanya untuk mempertahankan image dan takut akan masalah, terlalu berhati-hati dan cenderung kaku. Beliau menjadi jiwa yang terbelenggu kreativitasnya oleh kondisi ataupun realitas yang terjadi saat ini, termasuk yang beliau ciptakan sendiri. Arah yang beliau tempuh tidak jelas dan kehilangan akan diri yang sebenarnya. Beliau pun merasa seolah-olah hanya mengikuti arus dan ini semua karena niat ataupun motif yang mulai tidak tepat.
“Sebelum berdampak lebih besar dan kesalahan ini menimpaku lebih jauh, niatku akan saya perbaiki dimulai dengan keikhlasan tanpa pamrih, karena hanya dengan rasa ikhlas jiwa akan tenang dalam bekerja. Keikhlasan yang memberi semangat mengabdi, yang membuat hidup harus dijalani seperti air mengalir, terus maju dan berusaha serta berserah diri pada yang kuasa”, ujar ibu ini mengakhiri obrolan karena berhubung waktu mengajarnya di kelas sudah tiba.
Filosofi Ki Hadjar Dewantara Titik Terang Pencariannya Selama Ini
Beliau rupanya mempersingkat jam mengajarnya dari dua jam menjadi satu jam saja berhubung saya datang.
“Ah! Saya jadi nggak enak ni bu, jadi mengganggu waktu mengajar ibu saja.” Kataku.
”Ngak apa-apa, kan nak Iwan cuma hari ini saja datang ke sini, jadi pertemuan kita ini harus betul-betul dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan informasi akan sekolah ini selama ini.”
Obrolan kami-pun berlanjut kembali. Saat saya menyinggung mengenai lokasi sekolah yang cukup jauh dari kota, yakni membutuhkan sekitar 20 kilo meter lebih perjalanan dari kota Meulaboh, pusat pemerintahan Aceh Barat berada, bagi Ibu Cut Erna bukan masalah, karena disinilah tempat ia mengabdi, berdidikasi untuk negeri, tempat ia merubah nasib anak-anak yang sebagian besar berasal dari keluarga petani dan nelayan.
Ngomong-ngomong tentang dedikasi dan perubahan, buk Cut yang juga sebagai putri daerah merasa terpanggil untuk menyelamatkan anak-anak murid di kampungnya dari ketergantungan game play station (PS). Waktu itu beliau teringat akan sosok tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1930 melalui bukunya “Sekolah Taman Siswa”. Lembaga pendidikannnya diberi taman, dalam artian menjadikan sekolah sebagai taman bermain.
Melihat kondisi yang prihatin tersebut, bu Cut Erna pun belajar dari filosofi yang dibuat bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya. Dengan menjadikan sekolah sebagai taman bermain, situasi pembelajaran lebih nyaman dan menyenangkan, peserta didik akan selalu ketagihan untuk sekolah dan belajar.
“Dibukunya disebutkan taman bukan yang lain, yaitu tempat yang penuh kebahagiaan dan menyenangkan. Jadi kita harus dorong agar murid-murid kita bisa merasa seperti di taman dan membuat mereka harus bisa ketagihan belajar,” ujar bu Cut.
Dengan tekad dan semangat untuk mengabdi, ibu Cut Erna mencoba menggagas program belajar sambil bermain yang gratis, terutama untuk menarik perhatian mereka dari PS. Beliau yakin, kebiasaan buruk hanya dapat dialihkan dengan memberikan opsi kebiasaan baik yang dapat mereka praktekkan. Ibu Cut Erna melihat filosofi dari Ki Hadjar Dewantara sebagai opsi terbaik untuk mengalihkan perhatian peserta didiknya dari PS. Apalagi buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini ternyata juga telah dipraktekkan atau diterapkan di banyak negara maju di dunia, negara-negara dari Eropa misalnya.
Untuk mempercepat programnya, ibu Erna pun rela menggunakan uang pribadinya untuk membeli buku, biaya rehab gedung dan keperluan lainnya seperti sosialisasi. Ibu Erna memulainya dengan mendekati ank-anak diidknya. Mengikuti mereka bermain, memahami pola pikir mereka, intinya mencoba membangun kedekatan dengan anak-anak didiknya. Selain juga mengumpulkan para staf dan guru-guru untuk membangun team work.
Selain itu, semangat belajar dan minat baca anak-anak didik pun meningkat. Mereka tambah rajin bersekolah dan mengaji. Hal ini diketahui dari testimoni orang tua dan guru-guru mereka.
Membuat sekolah menjadi tempat yang menyenangkan saya pikir harus menjadi visi seluruh jajaran pendidik di Indonesia.
Apa yang dilakukan bu Cut Ernalita dari manfaat filosofi Ki Hadjar Dewantara bukan hanya dirasakan oleh anak-anak murid Suak Geudubang dan sekitarnya saja. Akan tetapi juga dapat menginspirasi sekolah-sekolah yang ada di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Karena itu membuat sekolah menjadi tempat yang menyenangkan saya pikir harus menjadi visi seluruh jajaran pendidik di Indonesia.
Mari kembalikan sekolah-sekolah di Indonesia menjadi tempat yang menyenangkan. Tidak lagi menjadikan situasi sekolah yang membuat peserta didik stress, tegang, terbeban dan merasa jika ke sekolah jadi ingin cepat-cepat pulang. Melainkan sebaliknya, jika murid atau siswa ke sekolah pasti ingin kembali, bukan ingin segera pulang untuk bermain game-game yang tidak berguna misalnya.
Terlahir sebagai pahlawan tanpa tanda jasa seperti termaktub dalam Hymne Guru memang tugas mulia. Dan kemuliaan itu datang seiring pengabdian tanpa pamrih bagi mereka yang menjalankan tugas mencerdaskan anak bangsa. Maka dari itu saya akan mempersembahkan sebuat bait puisi untuk para guruku Indonesia;
Wahai para guru Indonesia
Kuatkan tekat, teguhkan hati
Tingkatkan kualitas dan kreatifitas
Demi terwujudnya generasi emas di negeri tercinta ini
Hingga pendidikan yang berkualitas menyapa bagai mentari semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H