Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Arti Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta dari Renungan dan Dedikasi Seorang Pendidik

29 Mei 2016   14:09 Diperbarui: 1 Desember 2022   00:31 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto 1. Kegiatan beliau yang rutin seperti hari-hari biasa, menyelesaikan administrasi, memeriksa surat masuk, surat keluar dll. (Dok pri).

“Dulu aku bekerja dengan niat atau motif pengabdian dan idealisme yang tinggi, motif  ini menimbulkan motivasi yang besar untuk selalu ikhlas dalam bekerja dengan tujuan utama mengabdi pada lembaga serta mengharapkan ridha dari Allah sebagai penambah bekalku kelak. Motif atau niat ini juga menghasilkan energi positif yang dapat menjadi tenaga yang kuat dalam menghadapi tantangan dan ketika keberhasilan-keberhasilan kerja mulai  terwujud, ada rasa bahagia yang keluar dari hati yang benar-benar tulus tanpa pamrih. Niat atau motif ikhlas inilah yang mulai terkikis dalam jiwaku akhir-akhir ini,” ujar beliau kembali panjang lebar.

Melihat kondisi yang terjadi sekarang, terutama pada anak-anak didiknya, beliau-pun menyadari sekarang, selama ini beliau bekerja hanya mengejar prestise alias gensi, bekerja hanya untuk mempertahankan image dan takut akan masalah, terlalu berhati-hati dan cenderung kaku. Beliau menjadi jiwa yang terbelenggu kreativitasnya oleh kondisi ataupun realitas yang terjadi saat ini, termasuk yang beliau ciptakan sendiri. Arah yang beliau tempuh tidak jelas dan kehilangan akan diri yang sebenarnya. Beliau pun merasa seolah-olah hanya mengikuti arus dan ini semua karena niat ataupun motif yang mulai tidak tepat.

“Sebelum berdampak lebih besar dan kesalahan ini menimpaku lebih jauh, niatku akan saya perbaiki dimulai dengan keikhlasan tanpa pamrih, karena hanya dengan rasa ikhlas jiwa akan tenang dalam bekerja. Keikhlasan yang memberi semangat mengabdi, yang membuat hidup harus dijalani seperti air mengalir, terus maju dan berusaha serta berserah diri pada yang kuasa”, ujar ibu ini mengakhiri obrolan karena berhubung waktu mengajarnya di kelas sudah tiba.

Foto 2. Sekolah Dasar (SD) Negeri Suak Geudubang, berlokasi di Propinsi Aceh Kabupaten Kab. Aceh Barat dengan alamat Suak Geudubang Kec. Samatiga Jalan Nasional Banda Aceh-Meulaboh. (Dok pri).
Foto 2. Sekolah Dasar (SD) Negeri Suak Geudubang, berlokasi di Propinsi Aceh Kabupaten Kab. Aceh Barat dengan alamat Suak Geudubang Kec. Samatiga Jalan Nasional Banda Aceh-Meulaboh. (Dok pri).
Itulah bu guru bernama Cut Ernalita, sosok perempuan berusia empat puluh tujuh tahun yang kini menjadi kepala sekolah dasar negeri (SDN) I (satu) Suak Geudubang Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Beliau tersenyum hangat saat saya menemuinya di ruang guru sebelum ngobrol. Seperti senyumnya ketika menyambut para muridnya di pintu gerbang sekolah. Beliau menyuruhku untuk tidak pulang dulu, karena pembicaraan kami belum selesai. Sambil menunggu beliau selesai mengajar, saya pun melihat-lihat kondisi fisik sekolah. Tampak di beberapa ruangan sepertinya harus ada perbaikan seperti atap yang rusak, bocor dan retak demi peningkatan kualitas pendidikan.

Foto 3. Atap/langit-langit sekolah yang rusak, bocor dan retak menjadi pemandangan yang sering kita lihat di beberapa ruangan di sekolah-sekolah yang terletak di pelosok, termasuk SDN I Suak Geudubang ini, padahal anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan sudah cukup besar. (Dok pri)
Foto 3. Atap/langit-langit sekolah yang rusak, bocor dan retak menjadi pemandangan yang sering kita lihat di beberapa ruangan di sekolah-sekolah yang terletak di pelosok, termasuk SDN I Suak Geudubang ini, padahal anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan sudah cukup besar. (Dok pri)

Filosofi Ki Hadjar Dewantara Titik Terang Pencariannya Selama Ini

Beliau rupanya mempersingkat jam mengajarnya dari dua jam menjadi satu jam saja berhubung saya datang.

“Ah! Saya jadi nggak enak ni bu, jadi mengganggu waktu mengajar ibu saja.” Kataku.

”Ngak apa-apa, kan nak Iwan cuma hari ini saja datang ke sini, jadi pertemuan kita ini harus betul-betul dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan informasi akan sekolah ini selama ini.”

Obrolan kami-pun berlanjut kembali. Saat saya menyinggung mengenai lokasi sekolah yang cukup jauh dari kota, yakni membutuhkan sekitar 20 kilo meter lebih perjalanan dari kota Meulaboh, pusat pemerintahan Aceh Barat berada, bagi Ibu Cut Erna bukan masalah, karena disinilah tempat ia mengabdi, berdidikasi untuk negeri, tempat ia merubah nasib anak-anak yang sebagian besar berasal dari keluarga petani dan nelayan.

Ngomong-ngomong tentang dedikasi dan perubahan, buk Cut yang juga sebagai putri daerah merasa terpanggil untuk menyelamatkan anak-anak murid di kampungnya dari ketergantungan game play station (PS). Waktu itu beliau teringat akan sosok tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1930 melalui bukunya “Sekolah Taman Siswa”. Lembaga pendidikannnya diberi taman, dalam artian menjadikan sekolah sebagai taman bermain.  

Melihat kondisi yang prihatin tersebut,  bu Cut Erna pun belajar dari filosofi yang dibuat bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya. Dengan menjadikan sekolah sebagai taman bermain, situasi pembelajaran lebih nyaman dan menyenangkan, peserta didik akan selalu ketagihan untuk sekolah dan belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun